: Catatan Ngopi Dipit 1
Oleh Uthera Kalimaya
Seorang
pernah berkata pada saya; “mencicipi varian kopi itu lebih nikmat bila
ada seseorang di ujung meja.” Sebelumnya, ia berkata bahwa ia sering
melihat saya sibuk dengan buku atau gadget. Ia tidak pernah melihat saya datang ke kedai kopi itu bersama seseorang. Beberapa
tahun lalu itu, keberadaan saya di kedai kopi memang tidak lain hanya
untuk mengerjakan tugas kuliah dan menulis dan menumpang browsing. Karena itu, saya selalu mencari kedai kopi ber-wifi (bukan ber-wife)
gratis dengan meja yang bisa saya jajah sendirian. Kopi hanya sebagai
alasan agar saya tidak segera diusir oleh pemilik kedai. Tapi, kehadiran
orang itu dengan isi obrolan yang saya taksir tidak mendekati pada
‘modus’ lelaki, membuat saya kemudian membalikkan tujuan kedatangan saya
di kedai kopi. Dari awalnya cuma mencari wifi gratis, berganti menjadi mencari kopi sembari mengerjakan tugas atau pekerjaan dan obrolan mencerdaskan yang gratis.
Memang,
isi obrolan saya dan kawan baru itu mungkin tidak seberisi obrolan
Jean-Paul Sartre, Ernest Hemingway, Voltaire, Betold Brecht dan
tokoh-tokoh lainnya yang menjadikan kedai kopi selain menjadi tempat
menulis, juga sarana interaksi sosial dan intelektual. Saat itu, saya
dan kawan baru itu hanya membicarakan tugas yang sedang saya kerjakan
dan perihal keseharian saja. Tapi memang benar, keberadaan seseorang di
ujung meja bisa menambah kenikmatan lain pada setiap cangkir kopi yang
saya pesan. Kenikmatan itulah yang membuat saya memutuskan untuk
menyukai kopi dibandingkan minuman lainnya.
Kemunculan
kedai-kedai kopi di Serang saat ini, sudah seperti uban di kepala.
Banyak. Masing-masing dari kedai itu menawarkan berbagai fasilitas yang
modern. Mulai dari kopi dan menu lainnya, hingga tempat yang cozy dan instagramable (baca: layak dijadikan tempat selfie).
Hingga tidak heran bila pada akhirnya istilah ‘ngopi cantik’ (dipakai
oleh gerombolan gadis muda dan mama-mama muda) dan ‘ngopi ganteng’
(dipakai oleh gerombolan lelaki muda dan papa-papa muda) pun marak
didengungkan oleh kaum muda di Serang. Meskipun mereka tidak menyukai
kopi dan pesanan mereka pun tidak fure kopi. Bagi para pemilik kedai, tentu saja itu merupakan potensi yang besar bagi kelangsungan bisnis mereka.
Potensi
itu pula yang dilirik para pecinta kopi dan peracik yang menyebut diri
sebagai ‘Pendekar Hitam’. Mereka pun tidak kalah dengan mengeluarkan
istilah ‘ngopi jujur’. Ngopi yang tidak sekadar ngopi, tetapi sembari
berdiskusi. Karena itulah, pada Sabtu (30/4/2016), para pecinta dan
peracik kopi berkumpul di Padepokan Kupi dalam acara Ngopi Dipit.
Acara diskusi yang berlangsung mulai dari pukul 20:00 WIB itu, menyuguhkan pemaparan Ebot Feng, penyedia (atau supplier)
kios kopi TSJ Serang, Agan K. Fridayanto yang menjadi pengusaha kopi
dengan brand Stubruks Coffee, dan Syahid Hurriyatna peracik muda. Selain
itu, para pemilik kedai kopi di Serang, seperti Marlan Rainhard dari
Rumah Kopi, Imam Munandar dari Grounded Coffee dan lainnya, turut hadir
untuk membincangkan kopi sekaligus workshop itu.
Tampak hadir pula Ali Soero, Andi Suhud, Atif Natadisastra, Niduparas
Erlang, Nuril Aswanto, dan para penikmat kopi lainnya, seperti yang
disebut sebagai ‘pemburu tahrim’—penikmat kopi yang suka berlama-lama
nongkrong dan berdiskusi apa saja di kedai kopi hingga dini hari.
Diskusi “Ngopi Dipit” itu dibuka oleh pemaparan Ebot Feng. Selain menceritakan sejarah, ketersediaan varian origin coffee di
kiosnya dan konsep sederhana yang diusung kios kopi TSJ di Serang,
pemegang tongkat kedua (generasi kedua) itu mengatakan bila kultur
masyarakat penikmat kopi di Serang didominasi oleh penikmat kopi jenis
robusta. Sedangkan kopi jenis arabika baru diminati ketika kedai-kedai
kopi mulai bermunculan. Menurut Ebot, kopi memiliki sifat tidak
konsisten, penuh misteri dan energi, akan sulit mendapatkan rasa yang
sama persis dari penyeduhannya. Satu-satunya cara untuk dapat
mengetahuinya, hanyalah dengan menikmatinya. “Lu nggak akan pernah tahu
nikmatnya kopi, kalau lu nggak mau nyoba,” ujar Ebot.
Sementara itu, pemilik brand Stubruks
Coffee, Agan K. Fridayanto bercerita perihal keberhasilannya dalam
menyaingi kedai-kedai kopi modern melalui kedai kopi pinggir jalan.
Aroma origin coffee asli
nusantara seperti Gayo, Aceh, Toraja, Wamena, Bali, dan varian kopi
arabika lainnya pun pernah menyemerbak di Alun-alun Serang, kemudian
berpindah ke Jl. Veteran. Ia bergerilya mengenalkan kopi berkualitas
dengan harga yang terjangkau dan dengan cara seduhan kopi tubruk yang
telah mendarah daging di Banten.
Lain Ebot dan Agan, lain pula Syahid. Pemuda berambut keriting itu mengaku baru mengenal kopi di rumah temannya di Bandung. Cara meracik kopi yang ribet (manual brewing)
itu—mulai dari menggiling biji kopi sendiri, memanaskan air dengan suhu
yang diatur (92-95 °C), menyaringnya dengan filter dan lainnya—sukses
menarik perhatiannya. Apalagi saat kopi telah terhidang dan ia menemukan
rasa cokelat dari kopi Eithopia itu. Dari semenjak itu ia mulai
bergerilya belajar meracik kopi dari satu warung kopi ke warung kopi
lain. Menurutnya, barista (peracik kopi) yang baik itu tidak pelit
membagi pengetahuan tentang kopi. Baik itu barista yang sudah pernah
bersekolah maupun para roaster (penyangrai kopi).
“Karena
kopi itu energi. Energi tidak akan habis kecuali kiamat. Itulah kenapa
kopi tidak konsisten, karena banyak sekali hal-hal yang memengaruhinya.
Mulai dari suhu airnya, kebersihan tempatnya dan banyak hal lainnya.
Karena kembali lagi ke sifat kopi, yaitu bisa meresap aroma apa pun yang
ada di sekitarnya. Kalau berhubungan dengan kopi itu sih, asal kita tahu kopi itu apa dan kopi itu untuk apa,” terangnya.
Pemilik
Padepokan Kupi yang malam itu didaulat menjadi moderator, Koelit Ketjil
(Aliyth Prakarsa) pun tak mau kalah melontarkan pertanyaan; kenapa rasa
kopi bisa berbeda ketika diseduh dengan menggunakan cara berbeda?
Syahid
mencontohkan dengan penggunaan dua alat filter seperti produk Melita
dan Kalita. Meskipun keduanya seperti kembar—salah satunya tiruan dari
yang lain, keduanya memiliki perbedaan. Alat filter kopi Melita yang
dilahirkan oleh ibu rumah tangga berkebangsaan Jerman bernama Melitta
Benz itu memiliki satu lubang kecil. Format satu lubang itu menyebabkan
kopi terendam sedikit lebih lama, sebelum akhirnya mengucur ke bagian
server di bawahnya. Sementara filter Kalita yang hadir setelah
keberadaan Melita itu memiliki tiga lubang pada dasar alat tetesnya (flat dripper). Konsep Kalita lebih pada perendaman (immersion) dan perembesan (permeation). Tiga lubang itu untuk melancarkan proses penetesan dan mencegah over ekstraksi kopi yang diseduh.
Selain
ketiga pembicara itu, moderator pun menyilakan pemilik kedai kopi dan
para penikmat kopi lainnya untuk turut berbicara. Pemilik Grounded
Coffee, Imam Munandar bercerita perihal muasal nama kedainya itu yang
diakuinya berhubungan dengan pekerjaan sebelumnya di bidang travel.
Selain itu, ketersediaan menu di kedainya pun turut ia bicarakan selain
tentu saja undangan mampir pada para penikmat kopi. Sedangkan pemilik
Rumah kopi, Marlan Rainhard, mengawali pembicaraannya dengan mengatakan
bahwa acara mengumpulkan pecinta kopi malam itu merupakan momemtum yang
tidak bisa ia ciptakan. Sebelum akhirnya ia bercerita perihal kehadiran
Rumah Kopi sebagai pelopor kedai kopi di Serang. Kehadiran kedai kopi
yang didirikannya itu ia sebut sebagai suatu kegilaan. Sebab pada tahun
2010 itu, di Serang sulit mencari kedai kopi yang serius. Reinhard juga
berbagi tips sebelum berkecimpung dalam bisnis kopi, yaitu memiliki visi
dan misi dan terus menggali kreativitas dengan menciptakan menu baru
yang dijadikan identitas kedai kopinya.
Sementara itu, Ali Soero pun mengaku bila pembicaraan mengenai kopi ini sangat menarik. Selain karena budaya ngopi di Banten yang sudah sangat kental, juga karena kopi menyatukan perbedaan-perbedaan. “Budaya ngopi
di Banten itu sangat kental. Ke mana pun kita pergi, pasti akan ada
saja yang meminta mampir dengan mengatakan ‘woy ngopi’. Apalagi dalam
pergerakan (baca: organisasi), kopi itu sangat dekat sekali,” ujarnya.
Ali Soero juga berharap bila di lain waktu diadakan festival kopi
sebagai ajang silaturahmi pemerintah, para petani, pegiat atau pemilik
kedai kopi dan para pecinta kopi di Banten.
Selain
diskusi tentang kopi, acara kumpul bersama para peracik dan pecinta
kopi itu juga mengadakan donasi kopi untuk para ‘Fakir Kopi’. Gerakan
berbagi kopi varian nusantara yang awalnya untuk mencegah para pemuda
kekurangan kopi itu, kini berkembang menjadi gerakan berbagi kopi
langsung ke jalanan. Entah itu petugas kebersihan, satpam, pemulung,
penjaga palang pintu kereta, tukang parkir dan lain-lain.
Apa Kabar Kopi di Tanah Banten?
Dari
seluruh varian kopi asli nusantara yang pernah saya cicipi di
kedai-kedai kopi, saya belum pernah menemukan kopi Banten sebagai salah
satu menunya. Saat ditanyakan pun, sebagian besar peracik kopi—bahkan
penyedia kopi, tidak mengetahuinya. Kopi yang tersedia di Serang saat
ini didominasi kopi dari luar daerah, sementara kopi asli tanah Banten
seperti menghilang di pasaran. Padahal sewaktu kecil dulu, ende
(baca: nenek) saya sering mengolah kopi yang diambil dari belakang
rumah, hingga kemudian bisa kami nikmati di beranda. Pengalaman masa
kecil seperti itu pun pernah dirasakan oleh kawan-kawan lainnya. Mulai
dari pengalaman mencicipi, hingga disuruh memungut kopi dan menjualnya
untuk uang jajan.
Ingatan
itu kemudian membawa saya pada permainan ‘dulu’ dan ‘kini’. Melirik
jauh ke tahun 1696 ketika Wali Kota Amsterdam, Nicholas Witsen,
memerintahkan Adrian Van Ommen untuk membawa biji kopi ke Batavia. Kopi
arabika saat itu mulai ditanam di timur Jatinegara dan menggunakan tanah
pertikelir Kedaung (kini dikenal Pondok Kopi), kemudian menyebar ke
berbagai daerah dan Banten merupakan salah daerah yang dibidik menjadi
perkebunan kopi. Tidak lama setelah itu, kopi menjadi komoditi dagang
yang menjadi andalan VOC dan menjadikan kopi Jawa atau dikenal secangkir
Jawa (bukan secangkir kopi), menjadi minuman terenak di Eropa dan dunia
hingga abad ke-19.
Demi mendukung stok kopi di pasar Eropa, VOC membuat perjanjian Koffieselsel (sistem kopi) dengan para penguasa daerah. Perjanjian itu dilanjutkan dengan dengan cultuurstelsel
(sistem tanam paksa) yang diciptakan Johanness van den Bosch
(1780-1844). Saat itu rakyat diwajibkan menanam komoditi ekspor milik
pemerintah, salah satunya kopi, pada seperlima luas tanah yang digarap,
atau bekerja 66 hari di perkebunan-perkebunan milik pemerintah.
Akibatnya, kelaparan di tanah Jawa dan Sumatera terjadi pada 1840-an.
Tanam paksa ini pula yang menjadi isu yang ditulis Multatuli dalam novelnya Max Havelaar.
Melalui tokoh Batavus Drooggstoppel, si makelar kopi yang tinggal di
Lauriergracht No. 37 Amsterdam. Diceritakan bila saat itu, Drooggstoppel
ingin menulis tentang sebuah buku mengenai kopi. Buku yang penuh
kebenaran, bukan kebohongan. Pertemuannya dengan teman lama, Sjaalman
yang digambarkan sedang kusut, merupakan jalannya untuk meluluskan
keinginannya itu. Drooggstoppel pun menerima paket surat dan
dokumen—salah satunya berisi dokumen tentang kopi (Mengenai Harga Kopi
Jawa). Dari data itu, Droggstoppel kemudian meminta Ernest Stern (pemuda
Jerman) menuliskan buku tentang kopi dengan bahan-bahan dari Sjaalman
dengan judul “Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda”.
Tokoh
Max Havelaar pun dimunculkan Stern, dan Banten Selatan (baca: Lebak)
menjadi tempat tugasnya sebagai Asisten Residen yang baru. Havelaar
digambarkan sebagai pemimpin yang pro rakyat pribumi, sementara
kesewenang-wenangan itu dilakukan oleh para bupati dan kepala daerah
rendahan yang nota bene berasal dari penduduk pribumi. Namun,
Drooggstoppel mengharapkan cerita yang berkaitan dengan kopi, bukan
cerita kemiskinan dan penindasan yang terjadi pada rakyat Lebak.
Saat itu, Stern menjawab: “Tenanglah,
banyak jalan menuju Roma, tunggulah sampai akhir pendahuluan. Aku
berjanji semuanya akan tiba pada kopi. Kopi, kopi, dan tidak ada yang
lain, kecuali kopi.” “Ingatlah Horatius,” lanjut Stern,
“bukankah dia berkata, “Omne tulit punctum qui miscuit”—Kopi dengan
sesuatu yang lain? Dan, bukankah kau bertindak dengan cara yang sama
ketika memasukkan gula dan susu ke dalam cangkir?” (hlm. 184)
Tapi
saya tidak sedang mendukung Anda menjadi seorang Droggstoppel, atau
menjadi Tuan Slijmering, atau menjadi Gubernur Jenderal Belanda yang
tidak menanggapi permohonan audiensi Havelaar dalam kisahan Multatuli
itu. Sekarang, mari kita intip saja data perkebunan kopi di Banten.
Dalam berita yang saya kutip dari talitarahmagina.blogspot.co.id (host-nya
kontakbanten.com), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi
Banten mencatat bila pada tahun 2015 Banten memiliki lahan perkebunan
kopi seluas 6.685 hektare yang tersebar di Kabupaten Lebak, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, dan Kota Serang. Wilayah
utama pertanaman berada di Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang,
tepatnya di wilayah kaki Gunung Pulosari dan Gunung Karang. Pada data
hasil produksi tahun 2015, tercatat sebanyak 2.607 ton dengan luas tanam
6.737 hektare yang tersebar di Kabupaten Lebak (520 ton), Kabupaten
Pandeglang (839 ton), Kabupaten Serang (1.214 ton), Kota Cilegon (25
ton) dan Kota Serang (8 ton).
Badan
Pusat Statistik Provinsi Banten pada tahun 2009-2014 merilis data
dengan rincian sebagai berikut: tahun 2014 tercatat menghasilkan
produksi kopi sebanyak 2.524 ton, tahun 2013 hasil produksi menghasilkan
2.607, 61 ton, tahun 2012 produksi kopi menghasilkan 2.525,32 ton,
tahun 2011 menghasilkan 2.239 ton, tahun 2010 menghasilkan 2.216 ton,
dan tahun 2009 menghasilkan 2.216 ton.
Sementara
data dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kopi 2013–2015 yang
dikeluarkan Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan,
mencatat perkebunan kopi di Banten memiliki luas 6.737 hektare dengan
hasil produksi sebanyak 2.608 ton/tahun 2013. Pada tahun 2014, luas
perkebunan kopi di Banten berada di angka 6.934 hektare dengan hasil
produksi sebanyak 2.553 ton. Sedangkan pada tahun 2015 hasil produksi
kopi di Banten berada di angka 2.592 ton.
Dari
data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Banten itu bisa
kita lihat, bahwa produksi kopi di Banten mengalami kuantitas yang naik
turun. Pada tahun 2013, produksi kopi di Banten cukup tinggi
dibandingkan tahun-tahun lainnya. Pada tahun 2009 dan 2010 hasil
produksi kopi berada di angka yang sama. Tahun 2011 grafik produksi
mengalami kenaikan sebesar 23 ton. Tahun 2012 mengalami kenaikan yang
cukup signifikan dari sebesar 289,32 ton, dan tahun 2013 mengalami
kenaikan kembali sebesar 82,29 ton. Sedangkan pada tahun 2014, produksi
kembali mengalami penurunan sebanyak 83,61 ton.
Penurunan
hasil produksi itu disinyalir akibat kurangnya perhatian pengelola
kebun. Masyarakat menganggap, perkebunan kopi hanya sebagai sampingan
selain sektor pertanian. Sebab, produk kopi lokal tidak akan mampu
bersaing dengan kopi kemasan yang beredar di pasaran sehingga mereka
tidak pernah melakukan maintenance pada
tanaman kopi di kebun mereka. Lamanya pertumbuhan kopi ke masa panen
juga membuat para petani enggan melakukan regenerasi atau penanaman
kembali. Hingga pada akhirnya sampai pada anggapan, kopi hanyalah
menjadi tanaman di kebun yang bisa mereka panen dan konsumsi sendiri
saja.
Meskipun,
memang, Pemerintah Provinsi Banten dalam hal ini Dishutbun Banten
pernah mengklaim telah melakukan imbauan agar para petani mengembangkan
perkebunan kopi. Tapi, imbauan tanpa turun langsung ke lapangan untuk
melakukan penyuluhan atau workshop di
lapangan (baca: lahan perkebunan kopi atau di tengah masyarakat, bukan
di hotel), baik pembibitan maupun perawatan itu ibarat minum kopi
robusta tanpa gula setelah patah hati berkali-kali. Pahitnya sampai ke
ulu hati para petani.
Padahal,
seluruh dunia—termasuk kumpeni—tahu, bila Banten memiliki karakteristik
dataran yang mumpuni untuk ditanami kedua jenis kopi, yaitu robusta
yang memerlukan dataran 400-700 m.dpl., dan arabika yang memerlukan
ketinggian 700-1500 m.dpl. Selain itu, harga
komoditas kopi di pasaran pun sangat baik. Kopi robusta Rp20-25ribu/kg
dan kopi arabika harganya jauh lebih tinggi lagi. Karena itulah, keliru
kiranya bila masih menganggap kopi sebagai komoditas perkebunan yang
tidak menguntungkan. Apalagi bila mengingat para penikmat cairan hitam
yang misterius itu tidak pernah menyusut, bahkan terus bertambah.
Maka
tidak heran bila permasalahan lainnya yang muncul adalah stok kopi
lokal ini tidak terdeteksi di pasar lokal Banten. Tidak heran pula bila
pada akhirnya banyak pihak, khususnya para pecinta kopi, meragukan data
statistik yang membingungkan itu. Saking bingungnya, saya enggan mencari
tangan siapa yang melakukan kesalahan pengetikan (typo) dan siapa yang memunculkan dan menyembunyikan angka. Tangan saya, Anda, atau siapa?
Saya jadi curiga pada secangkir kopi di meja itu; sebenarnya kopi ini dari tanah mana? Ini kopi siapa? [*]
*** Catatan ini dimuat di Tabloid Menara Banten, edisi 5.
*** Catatan ini dimuat di Tabloid Menara Banten, edisi 5.
Source: Uthera Kalimaya Blog
No comments:
Post a Comment