Oleh Uthera Kalimaya
Malam ini (16/11), langit Serang
sangat gelap. Tidak ada setitik bintang, atau pun bulan. Deru kendaraan,
klakson, dan peluit polisi terdengar di kejauhan. Saat kaki saya sampai di
pinggir jalan, sebuah mobil polisi ‘tumben’ memarkir mobilnya di depan toko retail 24 jam itu. Sebenarnya, malam ini saya
sempat menghubungi teman. Semacam menagih janji menutup hari-hari yang padat,
dengan minum kopi bersama. Tapi, karena mereka sedang sibuk dengan pikiran
‘kantong yang tak berisi’, pulang, atau pun berkumpul bersama komunitas,
akhirnya saya putuskan untuk jalan-jalan sendirian.
Alun-alun Serang
menjadi tempat pilihan saya. Tentu saja, karena alun-alun adalah tempat paling
ekonomis, dan strategis untuk berjalan-jalan sendirian. Saya menyetop angkot
berwarna biru dengan trayek tidak jelas itu. Taksi? Akh! Tidak, terima kasih.
Angkot pun bisa memberi tumpangan ‘jalan-jalan’ malam ini. Dalam hati, saya berdoa, angkot ini akan mengambil jalan memutar.
Misalnya ke arah Pasar Rau, atau ke Kebon Jahe sebelum akhirnya mengantarkan
saya ke Alun-alun. Dan doa saya terjawab ketika sepasang penumpang menyetop
angkot ini. Dan mengatakan tujuan hendak ke Pasar Rau.
Gotcha! Pekikan hati saya. Itu artinya, dengan Rp. 3.000, saya bisa menuntaskan hasrat jalan-jalan
malam ini. Di telinga saya, Hajar Aswad mengajak bersenandung; kau tak butuh lagi kamar, sebab cinta
mengajarkanmu berpetualang.
Benar, saat ini saya
berniat memulai petualangan saya. Menikmati kopi di pinggir jalan, dan menulis
laporan perjalanan untuk siapa saja yang ingin membaca.
Hingga akhirnya, angkot
yang membawa saya ini memasuki daerah Pasar Royal, kemudian sampai di Pocis,
supir angkot memberitahu saya bahwa angkot tidak akan melewati Alun-alun,
melainkan berbelok ke arah Pandean. Mau tidak mau, tentu saya harus turun.
Tapi, kali ini saya benar-benar ikhlas berjalan kaki sekitar 50 meter ke arah
Alun-alun. Saya dapati areal parkir kantor Bupati yang ‘tumben’ padat, mobil
Polisi yang parkir di depannya, dan mobil satpol PP yang berjaga dekat
perempatan. Di bahu jalan terpasang tali yang ditautkan pada penghalang. Pikir
saya, barangkali untuk menjaga agar tak ada pedagang yang berjualan di bahu
jalan.
Sementara itu, di dalam
alun-alun Barat, sejumlah pedagang; baik
pedagang pakaian, aksesoris, makanan, hingga ke perkakas dapur, mengisi tiap
sudut. Arena bermain anak-anak pun tidak mau ketinggalan. Balon raksasa, kereta
mini, kotak berisi bola, atau arena permainan apa pun yang memiliki hubungan
erat dengan anak-anak, ada di sana. Padahal, bila melihat maklumat yang
terpasang di pintu masuk—depan kantor Bupati—yang ditancapkan Pemerintah Kota
Serang tertulis; Demi terciptanya
ketertiban dan keindahan Kota Serang, maka sarana alun-alun barat milik
pemerintah kabupaten Serang hanya dipergunakan untuk upacara atau acara
kenegaraan dan hari-hari besar lainnya. Akh! Barangkali mereka lupa
membubuhkan, bahwa alun-alun Barat juga bisa difungsikan sebagai tempat
rekreasi dan berbelanja bagi masyarakat Serang dan sekitarnya.
Saya melangkah memasuki
keriuhan di dalam alun-alun Barat. Dan tepat di depan sebuah balon raksasa, saya
berhenti. Saya sapa seorang anak yang wajahnya seperti ragu. Entah karena tak punya kawan, atau takut ditinggalkan orang tuanya. Dengan
malu-malu, ia menerima ajakan berkenalan. Tidak hanya itu, saya juga mengajak
beberapa anak lainnya untuk masuk dalam frame foto. Setelah mengucapkan terima
kasih pada mereka, dan pamit, saya pun meneruskan berkeliling. Memotret
beberapa keriangan yang lain; keriangan anak-anak di berbagai arena permainan, orang-orang
yang mendampingi mereka, memotret sepasang muda-mudi yang bergandengan tangan, atau
pun yang lainnya. Sementara itu, di sudut sebelah Timur, orang-orang berkerumun
mengelilingi seseorang yang berkoar di toa. Saya kira, lelaki yang berdiri di tengah arena itu menawarkan
diri untuk mengilangkan santet, termasuk menghilangkan seseorang yang dikejar
hutang ke alam gaib, melalui sebuah kotak bertudung hitam di tengah arena.
Barangkali, bila saya meminta dikirimkan kekasih pun sepertinya bisa. Hah!
Ada-ada saja.
Setelah lelah
berkeliling, saya kembali menuju pintu gerbang yang tadi saya masuki. Saya
hampiri seorang penjaja kopi, dan memesan segelas kopi hitam. Sebelum akhirnya
memilih duduk di trotoar jalan, dan menulis cerita ini.
Saat saya sedang asyik menulis,
para polisi yang memarkir mobil di seberang jalan, atau tepat di depan kantor Bupati
itu sedang mengganggu seorang yang tak waras. Sepertinya mereka tengah
mengenyahkan kegundahan ‘tak mengapeli pacar’, atau kebosanan menjalankan tugas
di malam ini. Seseorang dari mereka menghampiri saya. Maksudnya tak lain, meminjam korek api. Barangkali, ini trik lama yang dilakukan kebanyakan orang untuk menuntaskan rasa ingin tahunya. Sebab, tidak hanya meminjam korek api saja, ia pun bertanya apa yang sedang saya lakukan. Terus terang, saya cenderung tak suka mendapat gangguan saat saya menulis sesuatu. Akhirnya, tanpa
mengucap terima kasih, ia berlalu. Saya masih tidak peduli, tentu.
Saat ini, penanda waktu
di sudut kanan laptop saya menunjukkan angka 21:56. Mobil polisi yang semula berkeliling
entah mengumumkan apa, sudah kembali terparkir di depan kantor Bupati. Karena penasaran, saya bertanya pada seorang
polisi yang berdiri tidak jauh dari tempat duduk saya. Dari tag-name di
dadanya, saya tahu ia bernama Ramadhan. Saya taksir, ia seusia dengan saya, atau sedikit lebih tua. Menurutnya, tadi mobil itu mengumumkan mengenai pemberlakuan no parking zone di sekitar Alun-alun setiap Sabtu dan Minggu.
Tapi, buat kamu yang ingin menghabiskan waktu di sana, kendaraanmu bisa diparkir di areal parkir kantor Bupati atau Pendopo Kabupaten, Polwil, Gedung Juang, dan areal parkir Alun-alun Timur.
Saat saya pamit pada polisi yang tidak genit itu, Ebit G Ade bernyanyi keras dari pengeras suara di mobil berwarna hitam milik Polres Serang itu; Aku ingin pulang huhu.. Aku harus pulang huhu... [*]
Tapi, buat kamu yang ingin menghabiskan waktu di sana, kendaraanmu bisa diparkir di areal parkir kantor Bupati atau Pendopo Kabupaten, Polwil, Gedung Juang, dan areal parkir Alun-alun Timur.
Saat saya pamit pada polisi yang tidak genit itu, Ebit G Ade bernyanyi keras dari pengeras suara di mobil berwarna hitam milik Polres Serang itu; Aku ingin pulang huhu.. Aku harus pulang huhu... [*]
No comments:
Post a Comment