Si Rabin, Ipah dan Jalu: Pas dan Mengundang Beragam Emosi



Oleh: Mauliediyaa Yassin


Hadir di aula kampus IAIN Serang untuk menyaksikan pertunjukan monolog "Si Rabin" karya Saini KM oleh Deden Syarif--teaterawan asal Bandung, yang kemudian aku panggil "Kang Deden". Dan juga pertunjukan teater "Balada Ipah dan Jalu" karya Yusef Muldiyana yang diperankan oleh kawan kawan Genta Bahana Banten dari kampus Untirta, jurusan Sendratasik (Seni, Drama, Tari dan Musik) yang disutradarai langsung oleh sang dosen, Giri Mustika (Selasa, 23/02/2016). Awalnya, pertunjukan ini akan diadakan di Auditorium Untirta. Hanya saja, karena masih dalam tahap renovasi, maka pertunjukan dialihkan di aula kampus IAIN.
      Hadir 20 menit sebelum pertunjukan, membawaku pada perkenalan singkat dengan kang Deden, itupun diperkenalkan oleh kang Dindin (TSI yang juga bergelut di teater Koridor). Perbincangan singkat nan hangat itu membawaku pada kesimpulan bahwa kang Deden adalah orang yang menarik dan humble. Hal itu terbukti ketika aku menyaksikan monolog yang dibawakannya. Sebagai seniman yang sudah banyak merasai dunia panggung, kang Deden dengan santai dan ke-menarik-annya itu mampu menciptakan dunianya sendiri dengan logat Jawa yang mengaburkan logat aslinya, Bandung. Juga dengan mimik dan ekspresi yang tidak berlebihan, membuat audience menikmati pertunjukannya. Meskipun sangat disayangkan, volume suara yang dihasilkannya kurang begitu maksimal. But anyway, itu merupakan monolog yang pas!
       Setelah monolog "Si Rabin", audience disuguhkan pertunjukan teater yang mengundang beragam respon emosi. Pertunjukan dengan HTM sebesar Rp. 15.000 (Lima belas ribu rupiah) dan dipisah dua waktu (Pelajar pada pukul 16.00-17.00 dan Umum pada pukul 19.00-20.00) itu berhasil membangun suasana. Gelak tawa riuh di seisi ruangan, ketika para lakon bergimik konyol.
      "Balada Ipah dan Jalu" merupakan salah satu kisah yang menceritakan perjalanan cinta dua sejoli yang hidup sangat sederhana. Lakon ini berkisah tentang Ipah, seorang isteri yang sangat cerewet. Ia selalu iri pada kehidupan teman-temannya yang serba berkecukupan dan terpenuhi keinginan mereka oleh para suami. Namun sayang, ia hanya seorang isteri yang kenyang pada janji dan khayalan-khayalan sang suami. Ialah Jalu. Seorang suami yang malas bekerja. Ia ingin memiliki banyak harta, tapi yang dilakukannya hanyalah berkhayal setiap harinya. Kehidupan mereka semakin rumit ketika hujan banjir melanda desa. Ipah dan Jalu tidak tahu harus berbuat apa. Entah mau ke mana.
     Babak berikutnya audience dibawa pada masa ketika Ipah dan Jalu masih berpacaran. Keduanya ditentang oleh orang tua mereka. Tidak ada restu. Di sinilah segala status sosial diperlihatkan melalui narasi kedua orang tua mereka. Menurut pantauanku, audience turut larut dalam resah-gelisah tokoh Ipah dan Jalu. Terlebih ketika dua tokoh lain yang menjadi penghubung masa lalu-masa kininya Ipah dan Jalu mulai berdialog. Selain itu, tarian dan nyanyian koor dari pemain lainnya menambah terbangunnya suasana dan emosi. [*]

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment