Keteladanan Maestro-Maestro Banten

 
 
Saya, seperti penulis-penulis amatir lainnya atau remaja yang secara gegabah menafsir getar-getar saraf genital sebagai cinta, pernah ingin pergi ke Paris. Saya ingin juga menulis tentang Sungai Seine, mencium pacar di bawah Menara Eiffel, atau sekadar bertemu Lea Seydoux untuk memastikan bahwa yang di film biru-biruan itu memang dia. Paris selalu agung di mata saya; selalu ada karya-karya seni dan para maestro di kepala saya setiap kali mendengar nama kota itu. Coco Chanel? Ya, ampun. Namun, setelah tiga tahun di Serang, bersentuhan (langsung maupun tidak) dengan para seniman, para maestro lokal, saya menjadi tak perlulah jauh-jauh ke Paris, di sini sudah cukup. Dunia yang ingin saya lihat dan gapai menjadi sederhana (tentu, tentu bukan sempit), terlebih setelah belakangan ini para maestro itu menunjukkan kapasitas mereka dengan turut berupaya memajukan kesenian Banten, termasuk nasib penulis yang masih kurang garam seperti saya ini.
Dengan segala jenis sopan santun, mata berkaca-kaca, tangan gemetar, saya ingin berterimakasih kepada para maestro Banten itu. Betapa mereka telah mengubah saya, memadamkan ambisi ‘mendunia’ saya yang keterlaluan, menjadikan saya pribadi yang berpikir sederhana ala cerpen-cerpen lokalitas yang agung, 100% memperhatikan perkembangan kesenian di daerah, dan terbuka untuk dialektika (baik dialektika dari perbedaan pendapat dalam ‘diri Banten’, maupun dari perbedaan Banten dengan dunia di luarnya), serta hal-hal baik lainnya. Namun, meski bukan maestro, dosen filsafat saya, Arip Senjaya, pernah bilang kalau apa-apa yang saya sampaikan harus bisa diverifikasi. Maka, soal para maestro Banten yang terhormat itu, saya buat uraian keluarbiasaan mereka berikut ini.
 
1. Responsif, Berani, dan Bersemangat Kolektif
          Suatu hari, seorang penyair bernama Ibnu PS Megananda membuat sebuah tulisan yang luar biasa. Tulisan itu dimuat di salah satu media daring lokal. Lewat tulisan itu, dia menyampaikan berita gawat untuk kesenian Banten: Kepala Disbudpar Banten mempertanyakan peran sastrawan dan karya-karya agungnya bagi kas daerah, kalau tidak bisa dibilang benar-benar mengatakan bahwa sastrawan memang tidak berperan bagi kas daerah. Tak perlu waktu lama, tulisan Ibnu itu direspons oleh para maestro: ada yang memaki pendapat Kepala Disbudpar Banten, ada yang memaki Kepala Disbudpar Banten, bahkan ada yang segera mendiskusikan hal itu secara resmi. Silakan klik ini.
        Sayangnya, Kepala Disbudpar Banten sedang pergi ke Belanda (tentu saja, tentu saja urusan kebudayaan) sehingga tak bisa ikut dalam hiruk-pikuk para maestro Banten. Dia jauh di sana, sementara banyak orang membicarakannya, seolah memberi kesempatan untuk para maestro untuk terus berbicara ala Insert atau Kiss. Parahnya, belum selesai satu hal, hal lainnya sudah dimulai. Muncullah ke permukaan foto-foto para pejabat Disbudpar Banten di Menara Eiffel (sungguh, saya patah hati), terungkaplah bahwa para pejabat itu juga yang tampil di Tong-Tong Fair Belanda, dan hal-hal lainnya yang terlalu aneh untuk bisa diterima para maestro. Lagi, tak perlu waktu lama, bahkan sebelum para pejabat pulang ke Banten, sebuah petisi telah disusun dan diterbitkan dengan sangat baik berkat semangat persatuan para maestro. Petisi progresif itu, lengkap dengan penanda tangan dan komentar-komentarnya bisa dibaca di sini.
 
2. Meski Kritis, Tetap Memiliki Semangat Bersinergi dengan Pemerintah
        Hal selanjutnya yang membuat kita, baiknya, menyembah para maestro Banten adalah kebijaksanaan mereka. Meski suatu saat terkesan garang pada pemerintah, para maestro tak perlu waktu lama untuk kembali lemah-lembut, berdamai, dan mengusung semangat bersinergi dengan pemerintah. Ketegangan karena seniman dan kas daerah, Tong-Tong Fair, sampai petisi bisa selesai dalam waktu kurang dari sebulan. Ada banyak yang bisa dilakukan dengan kepala dingin, barangkali benar begitu baiknya. Dokumentasi soal kebijaksanaan para maestro ini, beberapanya bisa dicek di sini dan di sini.
 
3. Berpihak Pada Regenerasi
Mungkin tak ada yang lebih menarik lagi dari pada ini, para maestro memberi kesempatan kepada penulis-penulis kacangan. Mereka tahu sekali bahwa karya mereka terlampau bagus untuk dapat dikalahkan oleh orang lain (yang muda, kata mereka), apalagi untuk bersaing dalam kurasi pertemuan sastrawan paling bergengsi di Indonesia, Mitra Praja Utama. Duh, saya harus bilang apa, dong, karena level kepenulisan saya belum sampai pada penemuan kata yang lebih baik dari pada terima kasih. Sungguh, para maestro Banten tak serendah Woody Allen yang tak pernah puas muncul, apalagi Jodorowsky yang gemar memaki-maki seniman baru hanya karena mereka butuh uang Hollywood. Keberpihakan para maestro Banten pada regenerasi bisa dicek di sini.
 
4. Autentik, Spontan, dan Bertanggung-Jawab
Alkisah, pernah hidup di Banten seorang sutradara bernama Nandang Aradea. Karya-karyanya menarik, terutama karena memiliki kekhasan. Nandang pun cukup nyeni karena memiliki kadar spontanitas yang cukup. Namun Nandang bukan maestro, sama sekali bukan, setidaknya kalau dibandingkan dengan para maestro yang menjadi kurator MPU 2015: Toto ST Radik, Firman Venayaksa, Indra Kusumah, dan Chavcay Syaifullah. Meski saya kurang setuju keberterimaan Chavcay atas pembaiatannya sebagai salah satu kurator MPU 2015, mungkin karena Chavcay cuma lulusan filsafat dan harusnya dia sadar diri, saya akan tetap menjelaskan poin ke-4 ini.
Secara spontan, para maestro-kurator menentukan nama-nama yang layak menjadi delegasi Banten dalam MPU 2015, tanpa kurasi, tanpa berpikir panjang. Begitulah memang seni bekerja, barangkali. Obrolan para maestro yang bisa dicek di link poin ke-3 dan segala niat-niat luhur hasil euforia, mungkin, terlalu ‘mikir’ bagi para maestro-kurator sehingga diperlukan perubahan yang drastis, diperlukan spontanitas. Disepakatilah sistematika yang sama sekali berbeda dari yang sudah direncanakan. Selain itu, mereka telah menciptakan sistem kurasi yang autentik, 100%, dengan pertama-tama menilai dengan mengamati ala agen BIN. Lalu, dalam waktu sebentar (yang dianggap lebih panjang dari pada menggelar kurasi terbuka, dalam artian meminta orang-orang mengirim karya) para kurator-maestro membuka-buka catatan nama penyair se-Banten, dokumentasi karya-karya mereka, lalu baru menilai-nilai.
Kesaktian mereka sungguh patut dicatat dalam sejarah. Sekali lagi, dalam waktu sebentar, para maestro-kurator telah menilai secara objektif penyair se-Banten, lalu menentukan delapan nama yang beruntung. Jangan bayangkan dialog “Siapa lagi nih?” “Oh si Anu!” karena itu tidak terjadi, apalagi mengingat keberpihakan mereka pada kemajuan kesenian Banten yang pastinya membuat mereka sungguh-sungguh mengerjakan semuanya. Cukuplah percaya pada para maestro, orang-orang yang berbicara banyak soal kemajuan kesenian Banten, berani mengkritisi pemerintah, idealis gitu loh, tak akan main-main untuk urusan kurasi-mengkurasi, bahkan meski mereka tak dibayar sama sekali. Namun, kalau ada pertanyaan, silakan diajukan, mereka cukup bertanggung-jawab untuk bersedia menjelaskan. Lihat saja di sini.
Demikianlah, kira-kira, meski pasti masih banyak hal-hal yang tak tersebut soal para maestro Banten. Akhir kata, uudabludbak20++ (saya ajukan kata itu untuk menyebut terimakasih yang sangat) kepada para maestro Banten yang telah memberi contoh yang baik kepada anak muda, penulis-penulis karbitan dan baru menginjak garis start, dan masyarakat Banten secara menyeluruh. Karena mereka juga ternyata digital savvy, yang membuat kampanye media sosial mereka mengalahkan agensi-agensi periklanan digital internasional, kita bisa yakin bahwa kesenian Banten, terutama sastra, akan mencapai puncaknya! [*]
 
Na Lesmana lahir di Tangerang, 7 Juli 1992. 
Agen BIN (lagi libur, makannya ngaku agen BIN).
 

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment