Elegi Marjinal dan Sebuah Reportoar





Sebuah apel dikupas Niki di tengah panggung. Sebotol minuman—entah merek apa—dibuka dan dituangkan ke dalam gelas, lalu dicicipi Nikolas yang berdiri tak jauh dari Niki. Ya, di sebuah ruang, keduanya tampak saling mencintai…

Jika sepenggal peristiwa itu berlangsung di dalam sebuah teks tertulis, sebuah naskah cerita pendek misalnya, dan diputus cukup sampai di situ, barangkali pembaca akan menganggapnya sebagai sesuatu yang lazim. Lumrah. Sudah biasa jika sepasang kekasih saling mencintai. Namun, akan menjadi berbeda bila teks tersebut berlangsung di atas sebuah pentas, di sebuah panggung pertunjukan yang didekorasi sedemikian rupa, dan menampilkan kedua aktor yang tengah memerankan Niki dan Nikolas adalah laki-laki. Ya, sepasang kekasih (sesama lelaki) yang mungkin saling mencintai….

Demikianlah, pertunjukan Teater Studio Indonesia (TSI) bertajuk Elegi (karya Chanda Kudapawana) yang disutradarai oleh Chanda Kudapawana dan Farid Ibnu Wahid, yang menjadi salah satu peserta dalam ajang Dramakala Fest ke-1 yang diselenggarakan oleh IDEAL (Indonesia Drama Educators Associationas) bekerja sama dengan STIKOM London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, yang berlangsung pada 28-29 Februari 2012 lalu.

Akan tetapi, sebuah kisah tentang cerita cinta sepasang kekasih sesama jenis seperti yang tampak dalam lakon Elegi sudah bukan merupakan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang mengejutkan lagi. Bahkan, kini tak sedikit orang yang mengakui—di depan khalayak—bahwa dirinya adalah seorang gay atau lesbian. Terlebih, pernikahan resmi sesama jenis telah cukup lama bisa dilakukan dan disahkan di beberapa negara di Eropa.

Baiklah. Barangkali, masyarakat kita masih menganggap gay atau homo atau lesbian sebagai suatu “gaya hidup” atau “pilihan hidup” yang “tercela-terkutuk”. Maka tak heran, jika kemudian TSI juga ikut menggarap tema serupa ini menjadi salah satu pertunjukannya. Tak dimungkiri, memang, dalam kehidupan masyarakat kita, pelaku hubungan sesama jenis masih kerap dimarjinalkan. Dan hal itu tampak jelas dalam lakon yang diperankan Niki, Nikolas, dan Nyonya, dalam pertunjukan tersebut. Betapa, karena pada akhirnya, Niki dikhianati sekaligus dirampok habis-habisan oleh Nikolas dan Nyonya—yang tenyata adalah sepasang suami istri.

Secara tematik, bagi saya, pementasan Elegi bukanlah lagi sesuatu yang menarik. Sebab “merayakan seks”—baik berbeda jenis kelamin maupun sesama jenis kelamin—dalam sastra Indonesia mutakhir telah berlangsung—paling tidak—sejak penerbitan Saman karya Ayu Utami yang kemudian disusul karya-karya sastra serupa yang kebanyakan ditulis oleh para penulis perempuan, yang kemudian diidentifikasi sebagai “angkatan sastra wangi” yang memicu berbagai polemik.

Jadi, apa yang sebetulnya hendak ditawarkan TSI melalui pertunjukannya kali ini?

Aih, jika kita terpaksa membandingkan garapan TSI sebelumnya, seperti Bicaralah Tanah, Perempuan Gerabah, dan Bio Narasi (Tubuh Terbelah), dengan pementasan Elegi ini, agaknya terpaksa kita mesti menuai kecewa. Betapa, eksplorasi gerak, teror, setting ruang, estetika, dan sebagainya, yang kita jumpai dalam tiga pertunjukan sebelumnya itu, sama sekali tak berbanding dengan pertunjukan Elegi yang merupakan sebuah pementasan realis dengan mengusung tema marjinalisasi. Bukankah kita tahu belaka, bahwa di ruang dan waktu mana pun, marjinalisasi kaum minoritas terus berlangsung dan mungkin tak akan pernah menemu ujung.



Reportoar Air


Selain Elegi, Banten juga terwakili oleh Teater Gates yang mementaskan Reportoar Air (karya/sutradara DC Aryadi) dalam event Dramakala Fest ke-1 itu. Reportoar Air yang diperankan oleh lima aktor berkostum kaos hitam dengan kain sarung bermotif batik yang di bebatkan di pinggang itu, lebih mirip seperti sebuah pemberontakan tubuh atas pikiran-pikiran yang mengungkung-mengikat. Barangkali, segala aturan hukum, moral, dan nilai, hendak dinihilkan dalam pementasan tersebut. “Tubuhku ingin menjadi air, namun air tak mau menjadi tubuhku.”

Dan air di sini tidak semata menjadi wahana air tempat bermain kecipak-kecipuk para aktor atau sekadar mengisi kekosongan dua buah tong plastik yang diletakkan di tengah panggung, namun menjadi air yang menubuh. “Aku air…,” kata para aktor yang mengidentifikasi dirinya masing-masing. Air yang menempati segala bentuk ruang: mangkuk, tong, selokan, gelas, sedotan, sebuah ceruk, sebuah gunduk, bahkan sebuah kelamin.

Akan tetapi, secara tematik, bagi saya, apa yang ditawarkan Teater Gates lewat Reportoar Air dengan pemberontakan tubuh atas pikiran-pikiran, juga bukanlah sesuatu yang segar. Dan barangkali kita lupa, bahwa lebih dari tujuh puluh persen tubuh kita memang dipenuhi air. Segala macam zat cair. Terlebih, soal pemberontakan tubuh atas pikiran-pikiran, saya pikir, novel Tuan dan Nona Kosong karya Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin jauh lebih liar dalam memberontaki pikiran dan membebaskan tubuh tokoh-tokohnya. Organ tubuh dibiarkan berlepasan. Bahkan, yang sanggup berbicara bukan lagi mulut, melainkan pantat yang bisa ditukar-letakkan di mana saja.

Pertanyaannya kemudian, apakah yang dimaksud Harris Priadie Bah dalam esainya “Dramakala Fest; Sebuah Kemingkinan Lain dari Ruang yang Bernama Kreativitas” (Dramakala, Edisi 07) bahwa Dramakala Fest ke-1 sebagai “ruang kemungkinan lain” dari pertunjukan-pertunjukan teater? Apakah ke-11 kelompok teater dan 20 pemonolog yang menjadi peserta dalam ajang Dramakala Fest ke-1 telah menemukan “ruang kemungkinan lain” itu? Atau sebenarnya, sebuah event lomba atau kompetisi antarkelompok teater hanyalah sebuah pengulangan-pengulangan tanpa sanggup menjadi “kemungkinan lain” dari event serupa? Entahlah. Namun, bagaimanapun, sebuah ajang perlombaan masih diperlukan untuk terus memicu kreativitas. Dan, selamat kepada para pemenang! [*]



Sumber: Banten Post, 9 Maret 2012

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment