4 Film Berpengaruh


 Oleh Na Lesmana

Kadang film memberi pengaruh yang melebihi perkiraan kita. Bagi saya sendiri, setidaknya, hal itu terbukti. Beberapa film memberi saya alternatif berpikir, beberapa lainnya memberi saya referensi tentang buku, musik, bahkan sampai mempertemukan saya dengan seorang perempuan yang kini menempati posisi penting di hati saya.

Hal di atas tentu, dalam konteks ini, bukan lagi soal bagus atau tidaknya film itu. Meski mungkin film bagus memberi hal bagus setelah ditonton. Tetapi, saya sedang tidak ingin membahas kualitas: saya ingin berbagi tentang film-film yang berpengaruh bagi saya—sebagai pribadi. Ini dia daftarnya:

1. Con Air (1997, Simon West)



Garland Greene
Tokoh Garland Greene (Steve Buscemi) dalam Con Air
Con Air bercerita tentang Cameron Poe (Nicolas Cage), tentara Amerika, yang dipenjara setelah membunuh seorang pemabuk pada hari pertama kepulangannya ke Alabama—menemui Tricia, isterinya. Poe dijatuhi hukuman 7 tahun dan bersikap baik, sehingga ia melalui masa hukumannya dengan cepat. Sayang, pada hari pembebasannya, Poe harus satu pesawat dengan para penjahat paling berbahaya, yang segera mengambil alih kontrol. Ia harus melewati banyak ketegangan yang dibangun oleh Cyrus “The Virus” Grissom dan lain-lain sebelum akhirnya menemui lagi Tricia dan puterinya—yang belum melihat Poe sejak dilahirkan.

Rating Con Air di IMDB adalah 6.8. Tetapi, sekalipun lebih kecil dari itu, Con Air telah menyentak saya dengan tokoh Garland Greene yang diperankan oleh Steve Buscemi. Dialog-dialognya mencoba memberi kita perspektif lain mengenai beberapa hal. Garland Greene adalah getar tenang yang stabil di antara ketegangan yang dibangun dalam Con Air—khas pembunuh berdarah dingin.

Satu yang paling berkesan, bagi saya, adalah bagian saat Garland Greene keluar pesawat dan berjalan-jalan. Menilik latar belakangnya, Garland tidak lain sedang mencari seorang anak untuk dimakan (ya, dimakan secara literal). Tetapi, anak perempuan yang ia temui mengubah keseluruhan dirinya. Suasana yang dibangun, secara gambar pada bagian ini, berhasil menjadi latar bagi dialog Garland Greene dan anak perempuan itu.
Anak perempuan itu mengajaknya bermain boneka, tetapi karena Garland tidak merespons dan hanya menatapnya dengan pucat, anak perempuan itu bertanya, “are you sick?“. Pertanyaan simpatik dari seorang anak perempuan yang naif, yang mengubah banyak hal. Garland sama sekali tidak menduga, lalu berkata, “why do you ask?“. “You look sick,” kata anak itu. “I am sick.”
Menurut saya, pada bagian inilah Garland benar-benar sudah berubah: ia sudah tersentuh, lalu sudah pula mengakui ‘keadaan’ dirinya. Maka, ketika anak perempuan itu bertanya, “do you take medicine?“, Garland menjawab, there is no medicine for what I have“, meski ia bisa saja memakan anak itu. Terlebih, anak perempuan itu kembali mengejutkan Garland saat mengajaknya bernyanyi He’s got a whorld world in His hands. Garland salah, dia masih punya obat untuk dirinya dan telah mendapatkannya.
Coba putar video yang menampilkan keseluruhan scene Garland Greene di sini.

2. (500) Days of Summer (2009, Marc Webb)



500 Days of Summer
500 Days of Summer
Baiklah, ini film Marc Webb yang pertama, di samping beberapa film pendek dan video klip My Chemical Romance, Backstreet Boys, dan lain-lain yang ia kerjakan. Tetapi, sebagai bagian dari rasa pop, (500) Days of Summer berhasil menyajikan sebuah drama dengan segar: narasi yang intens, pengambilan gambar, sentuhan sketsa di beberapa bagiannya, penyajian plot yang tidak linier, dan, yang ingin saya bahas sekaligus memberi pengaruh kepada saya, sentuhan musik-musik di dalamnya.

(500) Days of Summer telah mempertemukan saya dengan The Smiths. Selain memasukkan juga lagu-lagu dari Regina Spektor, The Temper Trap, Carla Bruni, dan lain-lain, film ini menempatkan lagu-lagu The Smiths di tempat yang tepat sebagai pembentuk latar belakang psikologis tokoh prianya, Tom Hansen (Joseph Gordon Levitt). Saya jatuh cinta dengan Please, Please, Please, Let Me Get What I Want-nya The Smiths tepat saat Tom memutarnya (dalam film, bahkan lagu itu hanya diputar beberapa detik) untuk menarik perhatian Summer (Zoey Deschanel). Sejak itu, saya mulai mencari lengkapnya lagu itu dan lagu-lagu The Smiths lainnya.

Ini pertemuan yang telat, sebenarnya, karena saya pun baru menonton (500) Days of Summer pada 2012 dan The Smiths adalah band dari era 80-an (walaupun tidak akan tepat waktu juga karena saya lahir pada 92). Tetapi, itu cukup untuk membuat saya menyukai semua lagu The Smiths, sekaligus tersentuh secara khusus dengan Meat is Murder mereka dan menjadi vegetarian sampai saat ini.
Saya tidak tahu: jika pada siang itu saya tidak menonton (500) Days of Summer, di mana dan kapan lagi saya akan bertemu dengan lagu-lagu The Smiths dan apakah hari ini saya adalah seorang vegetarian?

3. Freaks (1932, Tod Browning)




Scene Wedding Party di Freaks
Scene Wedding Party di Freaks
Saya penasaran dengan Freaks dan akhirnya mencari film ini, setelah menonton The Dreamers-nya Bernando Bertolucci. Di The Dreamers, Bertolucci memasukkan potongan Freaks, tepatnya scene pesta pernikahan Hans (Harry Earles) dengan Cleopatra (Olga Baclanova) dan saat para tokoh menyanyikan “we accept you…we accept you…one of us, one of us!“. Adegan itu dimasukkan ke The Dreamers saat Isabelle dan Theo menerima Matthew sebagai teman mereka.

Awalnya, saya tidak mengira kalau Freaks masuk dalam genre horor. Tetapi, akhirnya pun, saya lebih merasa tersentuh dan tersadar tentang bagaimana memandang orang-orang dengan kondisi khusus tinimbang merasa takut. Freaks menunjukkan bagaimana tokoh-tokohnya memiliki keunikkan masing-masing, kelebihan-kelebihan yang mungkin tidak bisa saya miliki kalau berada pada posisi yang sama. Intinya, mereka bukan bahan lelucon dan siapa pun tidak bisa menertawai mereka karena kondisi yang tidak pernah diharapkan semua orang.

Seusai scene pesta pernikahan adalah bagian yang paling menyayat hati saya. Bagaimana Cleo ‘meminta maaf’ kepada Hans karena telah menertawai ketulusan cinta Hans dan ia hanya sedang bercanda, lalu Hans menjawab dengan satir yang pahitnya terasa sampai dada saya, “sekarang aku tahu betapa lucunya semua ini.”

4. The English Patient (2006, Anthony Minghella)



Scene "Does it have an official name" |Suprasternal Notch
Scene “Does it have an official name?” | Suprasternal Notch
Film Anthony Minghella ini, dalam konteks saat ini, tidak akan saya bicarakan lebih banyak dari pada film-film sebelumnya karena pengaruh The English Patient bagi saya bukan berasal dari dirinya: bukan karena ia adalah film yang bagus, bukan karena Ralph Fiennes, bukan juga karena diangkat dari novel Michael Ondaatje.
Ceritanya begini: suatu siang pada akhir 2012, di kampus, tepatnya di sebuah sudut yang biasa dipakai nongkrong oleh pegiat seni, saya melihat seorang perempuan sibuk menonton, saya duduk di sampingnya dan ikut melihat layar laptopnya yang sedang memutar The English Patient, berdua kami menonton sampai film itu selesai, lalu sedikit berbincang tentang beberapa hal kecuali The English Patient-nya sendiri. Saya sudah mengenal perempuan itu sebelumnya, baru beberapa hari tepatnya, tetapi kejadian itu cukup untuk membuat saya tertarik.
Ketertarikan yang aneh karena tiba-tiba itu membuat saya berpikir kalau menonton film berdua dengan dia adalah hal yang asik. Hari-hari selanjutnya, kami toh memang rutin menonton film berdua. Sampai hari ini, dia masih bersama saya dan meski sudah banyak film yang kami tonton, saya berterimakasih kepada semesta karena pernah mengijinkan sebuah film berjudul The English Patient untuk selesai dibuat dan seseorang bisa menontonnya!
Yah begitulah kira-kira, saya yakin siapa pun punya daftarnya sendiri-sendiri.




Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment