Pesta yang Melibatkan Tamu yang Tak Datang


Sumber Gambar: http://residence-apt.blogspot.com/

Oleh Na Lesmana

Dari sini, semua nampak agak berbeda. Gedung-gedung tinggi itu, lampu-lampu yang menyala di dalamnya, lampu-lampu jalan yang membentuk bayangannya sendiri, mobil-mobil, motor, dan para pejalan kaki yang seolah tidak pernah diam. Di atap gedung itu, di arah pukul dua saya, sebuah pesta sedang digelar. Orang-orang berbincang sambil berdiri, memegang gelas kecil, di antara suara musik yang tidak sampai ke telinga saya. Seorang pianis di tengah-tengah pesta, di titik tengah lingkaran yang dibentuk oleh para tamu, meja anggur, dan hiasan-hiasan bunga yang kuning. Sepasang kekasih berdiri menghadap ke arah saya, membelakangi pesta. Satu tangan mereka bergenggaman, seolah mengalirkan lagi getaran-getaran yang diciptakan angin, suara piano, anggur, dan malam yang pelan-pelan matang ke dalam tubuh mereka masing-masing.
Ada asap yang keluar dari ruang kecil di samping tempat pesta. Angin membawanya pergi ke arah pukul sembilan saya. Pelan dan sangat dramatis. Garis-garis putih yang dibentuk asap itu berbenturan dengan sinar lampu sorot, sebelum hilang dan tak seorang pun bisa mencatat riwayat masa depannya. Di dalam ruang asal asap itu, barangkali, para pemasak sedang menyiapkan menu-menu pendamping anggur. Mungkin daging domba, mungkin ikan-ikan laut, atau sekadar masakan daerah kalau mereka tidak cukup mengerti. Para pemasak juga harus menyiapkan diri mereka untuk lelah yang luarbiasa, juga kecewa karena para tamunya seperti tamu-tamu lain akan menyisakan banyak makanan.
Di langit, bulan seperti mata katarak seorang nenek yang pernah saya temui di jalan, nenek yang gemar mengetuk-ketuk kaca mobil. Di dekat bulan itu, bintang-bintang tidak mampu mengirim cahayanya untuk sekadar menembus awan. Atau memang mereka tidak ada. Saya merasa seperti pernah berada di antara bulan dan bintang itu, pernah berenang-renang di udara yang menggenangkan awan sekaligus mengubahnya menjadi gelombang yang cepat. Atau saya memang pernah. Seekor kelelawar terbang sendiri. Ia seperti keluar dari rombongannya di hutan-hutan yang jauh, bosan dan mengira bahwa kota yang sibuk ini adalah tempat yang menyediakan buah-buahan. Juga goa kecil di dinding-dinding kaca perkantoran, apartemen, hotel, atau toko-toko yang menyediakan apa saja.
Sepasang kekasih yang berdiri menghadap ke arah saya, ada yang mulai aneh dari mereka. Si perempuan mendekatkan mulutnya ke telinga si lelaki, sambil seperti melirik ke arah saya. Lalu, mereka sama-sama melihat ke arah saya, melambaikan tangan seolah kami pernah saling mengenal. Kalau saja saya bisa melihat wajah mereka lebih jelas, mungkin mereka sedang tersenyum atau mulut mereka bergerak-gerak seperti sedang meneriakkan sesuatu. Tangan mereka yang memegang gelas anggur, keduanya diangkat sejajar dengan wajah mereka. “Kemarilah, Pak, pesta ini memiliki anggur terlezat yang pernah kami minum!” begitulah, barangkali, yang sedang mereka sampaikan lewat gerak tangan dan keseluruhan tubuh mereka.
Asap yang keluar dari ruang kecil di samping tempat pesta itu mulai pekat. Ia tak lagi mirip asap dari bakaran daging atau ikan, ia mulai mirip asap yang keluar dari truk-truk pengangkut barang di pelabuhan-pelabuhan yang ramai. Maka, angin butuh waktu lebih lama untuk memecahnya menjadi garis-garis hitam, butuh kecepatan lebih untuk menyatukannya dengan warna malam. Dari kotak kaca, jendela di ujung kiri ruang itu, saya bisa melihat warna oranye yang bergerak-gerak. Api yang berkobar-kobar. Tetapi, ia seperti masih sangat wajar, masih tidak menimbulkan apa-apa bahkan untuk sekadar menghentikan para pemasak yang bisa saya lihat bayang-bayang tangannya.
***
            Konon, lelaki tua itu adalah penulis novel. Tetapi, karena aku tidak tahu namanya dan aku tidak suka membaca novel, aku tidak pernah melihat karyanya. Bagiku ia hanyalah lelaki tua yang gemar berdiri di balkon apartemennya, berdiri untuk waktu yang lama. Ia seperti mendapati dilema antara bunuh diri atau tidak setiap malamnya, antara meloncat dari lantai dua puluh tiga itu atau tidak. Jendela apartemenku terbuka dan tidak ada pekerjaan yang harus kuselesaikan malam ini, aku bisa hanya duduk di ranjang ini dan memerhatikan lelaki tua itu lebih seksama ketimbang malam-malam sebelumnya.
Ia sedang memakai jaket dan celana pendek. Di balik jaket itu, mungkin tidak ada apa-apa kecuali dada dan perutnya yang kurus. Di dalam celana pendek itu, mungkin tidak ada apa-apa kecuali kelaminnya yang tua. Rambutnya sebahu. Kalau lampu yang menyinari balkonnya lebih terang, mungkin aku bisa memastikan bahwa tidak ada yang bukan uban di kepalanya itu. Tangannya yang kecil memegang pembatas besi yang sejajar dengan pinggangnya. Wajahnya menatap ke arah sesuatu, sepertinya ke arah gedung yang dibangun bersebelahan dengan apartemenku. Rasa-rasanya, ada sesuatu yang membuatnya melakukan hal semacam ini setiap malam. Harusnya memang ada.
Saat ini, ia samasekali tidak bergerak. Mungkin matanya yang tidak bisa aku lihat itu sedang melirik ke kanan dan ke kiri, mungkin mulutnya sedang bergetar. Tetapi, aku melihat lelaki tua itu hanya diam dengan posisi kaki, tangan, dan wajah yang sama seperti detik-detik sebelumnya. Seekor kucing memunculkan kepalanya dari pintu yang terbuka di belakang lelaki tua itu. Mungkin kucing itu mengeong, tetapi lelaki tua itu tidak menghiraukannya. Lalu, kucing itu memunculkan diri sepenuhnya, berjalan ke arah lelaki tua itu dan mengusap kepalanya ke kaki lelaki tua itu. Tetapi, lelaki tua itu tetap tidak menghiraukannya.
Memerhatikan lebih lama, rasa penasaranku sampai di puncaknya. Aku beranjak dari apartemenku, menaiki lift yang dingin, dan akan melihat juga apa yang lelaki tua itu lihat. Sementara aku membayangkan lampu yang bekerlap-kerlip, arsitektur yang menarik, dan beberapa hal lain yang mungkin ada di tempat yang dilihat lelaki tua itu. Tetapi, yang paling memungkinkan adalah pot-pot besar berisi tanaman-tanaman hias. Mereka disinari bulan, cahaya lampu atau apapun yang bisa membuat mereka lebih indah pada malam hari. Wangi pengharum di dalam lift begitu tajam, seorang lelaki masuk di lantai tiga puluh satu dan keluar di lantai tiga puluh enam. Saya akan keluar di lantai tiga puluh delapan, lalu naik ke bagian teratas lewat tangga-tangga.
***
            Sebuah ledakan besar, sangat besar, berasal dari ruang para pemasak itu. Api membumbung, asap hitam yang mengerikan lahir setelahnya. Dinding yang memisahkan ruang itu dengan tempat pesta, atap ruang itu, beberapa peralatan masak yang diselimuti api, buyar dan menabrak apapun. Para tamu berteriakan, mereka yang terkena serpih-serpih tembaga, pecahan kaca, jilatan api, dan keterkejutan luarbiasa. Saya lihat juga tubuh beberapa pemasak yang terbakar, beberapa dari mereka terpental dan jatuh, mungkin ke taman di bawah gedung itu. Atau tersangkut di lantai belasan.
Saya membayangkan: di tengah keriuhan itu, ketakutan itu, pianis yang sedari tadi memainkan lagu tetap tenang dan tetap memainkan pianonya. Mungkin hanya lagunya yang berubah, mungkin menjadi lagu bernada tinggi dengan tempo yang cepat. Dan sepasang kekasih yang sedari tadi menatap ke arah saya pun tidak panik, mereka tetap mesra dan akrab dengan diri mereka sendiri dan saya. Mungkin mereka akan menahan perih luka di beberapa bagian tubuh mereka, sambil tetap bergenggam tangan, lalu berpeluk-cium dan masih mengundang saya. Tetapi, pianis dan sepasang kekasih itu larut dalam kepanikan, mereka berteriak dan takluk pada teror-teror kematian.
O, tidak ada yang mabuk.
“Kemarilah, Medusa, kuberikan kau satu pelukan yang panjang. Cukup panjang untuk membuatmu langsung tertidur nanti.”
Saya bawa kucing betina berwarna abu-abu ini ke dalam. Saya timang-timang ia sebagai upaya menghilangkan bayang-bayang pesta yang tragis tadi, lalu saya baringkan ia. Saya baringkan di ranjang kecil, ranjang kucing ini, yang bersebelahan dengan ranjang saya. O, mamalia yang belum melahirkan, mamalia yang belum menyusui. Saya matikan lampu, membiarkan gelap ruang ini menampung kesunyian dan dingin angin yang merayap dari sela-sela jendela. Atau sela-sela antara setiap detik yang berguguran dari jam dinding yang tergeletak di langit-langit itu.
Ada wangi kertas yang menyerupai filter rokok yang terbakar. Saya menciumnya, mendapatinya di antara sisa kopi di cangkir kecil yang tergeletak di lantai. Lalu kegelisahan itu datang lagi, kegelisahan yang mengendap di balik kertas-kertas kosong di kepala saya. Di bagian dunia yang lain, orang-orang sangat mungkin sedang menunggu kertas-kertas itu terisi dan saya bisa menuntaskannya seperti menyelesaikan percintaan yang omong kosong. Layar komputer itu menyala lagi, sebuah pesan elektronik dari pengirim yang sama mungkin telah ia terima.
***
            Tidak ada apa-apa. Atap gedung itu hanya bidang datar yang kosong. Bidang datar yang menciptakan genangan air dari sisa hujan. Di setiap sudutnya, terdapat sesuatu semacam besi panjang yang runcing. Peredam kilat. Aku belum menemukan sesuatu yang menarik dari atap gedung itu, sesuatu yang bisa membuatku berdiri menatapnya setiap malam. Lelaki tua yang gila! Mana mungkin dia bisa berdiri berlama-lama setiap malam hanya untuk melihat bidang datar yang kosong itu. Pantas saja kalau ada tanaman-taman hias, patung-patung atau karya seni lainnya, tetapi semua itu tidak ada.
Aku berbalik ke arah tangga, berjalan pelan. Udara menandakan pagi yang datang, menyerupai aba-aba untuk gerak kota beberapa jam lagi. Sempat kulirik apartemen lelaki tua itu dari sini: ia mungkin sudah tertidur setelah masuk membawa kucingnya tadi. Lampu balkonnya membuatku bisa melihat lembar-lembar kertas yang berserak, buku-buku yang tergeletak sembarang. Tanaman-tanaman kecil yang mati dalam pot-pot yang tak terawat. Di anak tangga pertama, suara seorang lelaki yang jauh memanggilku. Aku menoleh, lalu semua tidak sama lagi seperti beberapa menit lalu.
“Hey, Bung! Kemarilah! Bergabunglah!” [*] Tangerang-Jakarta, 2013

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Related Posts:

1 comment: