![]() |
Sumber; internet |
Oleh: Na Lesmana
Begini kondisinya: setelah pasar kendaraan bermotor kian bergairah, bahkan cenderung semakin liar dengan menyebarnya dealer ke
kampung-kampung dan segala bentuk kemudahan transaksi yang ditawarkan,
kita tidak bisa tidak melihat jalan-jalan dipenuhi motor dan
mobil-mobil. Kemacetan di mana-mana. Kewarasan kita terus-menerus diuji
lewat rutinitas berangkat dan pulang kerja, berangkat dan pulang kuliah,
atau apapun yang mengharuskan kita berada di jalan-jalan. Kondisi pasar
kendaraan bermotor yang barangkali baik untuk perekonomian daerah, pada
tahap selanjutnya, mengancam kita (sebagai subjek) dengan risiko-risiko
yang terbentuk dari ketegangan di jalan-jalan.
Kondisi yang lebih gentingnya begini: infrastruktur dan perangkat
kebijakan yang tersedia seolah tidak berbanding lurus dengan
meningkatnya angka pemakaian kendaraan bermotor kita. Maka, selain
kemacetan, kita juga akan dihadapkan dengan lahan parkir yang penuh,
ketegangan lain dengan pejalan kaki karena ruang-ruang mereka yang
terpaksa dipakai untuk parkir, dan semacamnya. Inilah—lahan parkir—yang
akan kita bahas lebih lanjut, berangkat dari dua kejadian pada beberapa
tahun lalu dan satu kejadian aktual, yaitu bentrokan di Pamulang antara
Barisan Muda Betawi dan Kembang Latar pada 2009, kasus tertabraknya
siswa TK Boddhicita di Medan oleh mobil yang dikendarai gurunya sendiri
pada 2012, dan serangkaian demonstrasi mahasiswa Untirta belakangan ini.
Untuk kasus yang pertama, ini kerap terjadi dan tidak menjadi
fenomena yang asing: perebutan lahan parkir. Urusan lahan parkir menjadi
latar belakang bentrokan antara dua organisasi masyarakat seolah lahan
parkir sejajar dengan urusan SARA dan ideologi (kalau memang
ideologis)—dua hal yang kerap juga menyebabkan bentrokan, termasuk dua
organisasi masyarakat yang telah disebutkan di atas. Kalau boleh
menyimpulkan secara serampangan, lahan parkir telah menjadi sebuah ruang
yang kemudian menghasilkan ‘laba’ karena secara langsung telah
berhubungan dengan banyaknya pengguna kendaraan bermotor sebagai pasar,
sehingga menarik untuk dijadikan sumber penghasilan. Patut dan layak
diperjuangkan hak kepengurusannya.
Setiap organisasi masyarakat yang terlibat dalam bentrokan semacam
ini, sebagai sebuah lembaga yang secara ‘legal formal’ mungkin tidak
berhak mengurus lahan parkir, entah secara apa (konsensus?) telah
memiliki kawasannya masing-masing. Sebuah pembagian wilayah kepengurusan
lahan parkir telah begitu saja berjalan. Dalam kasus bentrokan Barisan
Muda Betawi dan Kembang Latar di Pamulang pada 2009, sama seperti
bentrokan-bentrokan semacamnya, berawal dari satu pihak yang secara
sengaja maupun tidak masuk ke dalam wilayah pihak lain untuk mengurus
lahan parkir yang ada. Sebuah ketegangan yang luar biasa telah terbukti
berawal dari persoalan lahan parkir: banyak orang terlibat di dalamnya,
banyak jiwa dibidik oleh luka dan kematian.
Kasus kedua juga berawal dari urusan lahan parkir, bahkan khusus hal
ini terjadi di lahan parkir. Terlepas memang kasus itu merupakan
kelalaian manusia, kasus itu juga merupakan hasil dari gagalnya
pengelolaan tata ruang TK Boddhicita yang didesak oleh jumlah kendaraan
yang mesti diparkir: lahan yang tersedia telah dipaksa berfungsi ganda
sebagai lahan parkir dan tempat berkegiatan para siswa. Dalam kasus itu,
16 siswa mengalami luka ringan dan berat, sehingga mesti dilarikan ke
rumah sakit terdekat. Jika begini, sama seperti jalan raya, lahan parkir
menjadi ruang yang memberi peluang bagi kecelakan-kecelakaan.
Kasus ketiga terjadi di lingkungan para intelektual, kampus Untirta.
Dari serangkaian kegelisahan mahasiswa Untirta, ketaktersediaan lahan
parkir yang cukup di kampus Serang menjadi salah satu yang mengisi
rangkaian itu. Betapa mahasiswa Untirta yang motif kedatangannya ke
kampus adalah menuntut ilmu kerap ditabrak dengan agenda mencari tempat
kosong di lahan parkir, ditekan secara visual dengan menumpuknya
kendaraan-kendaraan di tempat-tempat yang dekat dengan gedung-gedung
perkuliahan, sampai akhirnya mengorbankan sekian lama waktu mereka untuk
menuntut perubahan atas hal itu, sekaligus secara umum menuntut
pemenuhan sarana dan prasarana penunjang kegiatan akademik.
Begitulah, dari persoalan lahan parkir bisa lahir persoalan-persoalan
lain yang lebih krusial bagi kehidupan sosial dan akademik kita, bahkan
kelangsung hidup kita itu sendiri. Tetapi, apakah lahan parkir, entah
dari segi ia sebagai sumber penghasilan seperti dalam kasus pertama atau
tata ruang seperti dalam kasus kedua dan ketiga, layak untuk disebut
sebagai sumber segala masalah? Tulisan ini mencoba mengajukan jawaban:
bukan! Sumber segala masalah terkait lahan parkir, termasuk kemacetan
yang disebut di awal, adalah tubuh kita sendiri—yang kadung terikat
dengan peran benda-benda, dalam hal ini kendaraan—dan hasrat yang telah
memacetkannya: hasrat yang membuat kita percaya bahwa kita benar-benar
harus memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi.
Tubuh yang Dimacetkan
Sebagai entitas materil, tubuh kita
menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran kita (sebagai entitas
imateriil) dengan dunia. Keterlibatan tubuh kita dengan dunia
memungkinkan bertambah kayanya pikiran kita. Semakin banyak pengalaman
yang diperoleh tubuh kita, semakin luas pengetahuan kita mengenai segala
sesuatu yang ada di dan pada dunia ini. Tetapi, sebuah tantangan justru
datang dari dalam diri kita sendiri, yaitu keengganan untuk membawa
tubuh kita bersentuhan dengan dunia. Memacetkannya di suatu pola yang
jauh dari potensi empirik semacam terik matahari, rasa haus dan lelah
berjalan kaki, kesadaran orang-orang kurang beruntung di pinggir-pinggir
jalan: terikat pada fungsi benda-benda, salah satunya kendaraan
bermotor.
Ke mana pun kita pergi, sedekat apapun jarak yang mesti kita tempuh,
kita kerap langsung berpikir bahwa kita harus naik kendaraan bermotor.
Kata ‘pergi’ kadung berkait erat dengan motor atau mobil pribadi kita.
Keberkaitan itu pun menggugurkan kemungkinan bahwa pergi bisa saja
dengan berjalan kaki. Menggagalkan upaya pemaksimalan kerja tubuh dan
persentuhannya dengan dunia. Maka, ketika orientasi tersebut menjadi
kolektif, kita bisa berkata, “wajarlah semua kemacetan ini.”. Setiap
orang, dengan kendaraan pribadinya, saling menekan dan menyumbang sekian
persen kegilaan di jalan-jalan raya, menyumbang sekian persen potensi
keributan di dan dari lahan-lahan parkir.
Rasanya, kita perlu sesekali berpikir ulang mengenai pemakaian
kendaraan bermotor pribadi, Upaya monumental semacam program “Hari Tanpa
Kendaraan” memang sudah kerap diselenggarakan, tetapi kesadaran
kolektif tidak bisa dibentuk oleh sulap. Mesti ada penyebaran wacana
ihwal semua ini, yang masif dan berkesinambungan. Bagaimana pun, tubuh
kita mesti bergerak sesuai dengan perannya sebagai penyambung antara
dunia dan pikiran kita—laboratorium untuk mengolah realitas menjadi
pengetahuan.[*]
No comments:
Post a Comment