Oleh Tria Putra Kurnia
Fyuuuhhh… glek.. glek.. suara apa itu? Yang pertama, suara hembusan nafas saya. Kedua, suara saya ketika menenggak kopi. Kopi rasa entahlah. Ada sedikit rasa dingin di lidah ketika ia mulai masuk ke dalam mulut saya. Sebuah lagu dari Keane, yang berjudul Somewhere Only We Know, saya putar berulang –ulang. Sampai bosan. Entah kapan.
Satu kata. “Lidah nggak pernah bohong”. Eh, salah. Hati nggak pernah bohong, maksudnya.
Iya. Mana bisa hati berbohong. Sekalipun mulut dan otak bersepakat untuk mengatakan yang lain, hati tetap jujur dengan caranya sendiri. Memang begitulah fungsinya hati. Berkata jujur. Setidaknya kepada diri sendiri, jika mulut dan otak mulai mencari cara untuk berbohong.
Ah. Apa itu hati? Secara fisik sih Cuma organ tubuh yang ada di dalam rongga sekitar perut. Katanya berfungsi untuk menyaring racun. Begitu bukan? Menyaring racun? Menyaring kebohongan dan kepura-puraan bagaimana? Bisa juga bukan?
Hati juga selain fungsi fisiknya yang dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, berfungsi juga sebagai organ yang memiliki fungsi multidimensi. Lho. Kenapa multidimensi? Iya. Menurut saya begitu. Apakah perasaan itu benbentuk fisik? Apakah nilai nilai yang kita percaya itu berbentuk fisik? Apakah… apakah.. apakahnya masih banyak.
Biarkan hatimu bicara. Banyak yang bilang begitu. Tapi bagaimana hati bisa bicara? Padahal ia tak punya mulut. Kenal bahasa pun tidak. Kecuali ada sekolah untuk hati. Biar dia bisa belajar bicara. Tapi kita selalu bisa menerjemahkan apa yang hati bicarakan bukan? Tentang apa yang sebetulnya hati kita inginkan.
Hati tak pernah belajar. Lalu bagaimana ia bisa berbahasa? Dari mana segala pengetahuannya tentang segala sesuatu? Ah. Bisa bisanya hati begitu pintar hingga ia tak perlu keluar perut dan pergi berangkat ke sekolah untuk mendapatkan pelajaran.
Hati bisa memiliki kekuatan yang maha hebat tanpa perlu berlatih di pusat olahraga. Ia bisa menjungkirbalikkan logika untuk beberapa manusia. Mengoyak raga tanpa perlu sebilah belati yang tajam. Memberikan keyakinan untuk sesuatu yang datang tiba-tiba pun ia mampu.
Hati paham segala sesuatunya tanpa harus pergi dari tempatnya. Langkah kita, waktu, dan perjalanan mematangkan dirinya. Memuati dirinya dengan segala pengetahuan. Menumbuhkan isntrumen baru untuk digunakannya mengolah segala peristiwa.
Tapi. Langkah kita, waktu, dan perjalanan, juga mematangkan logika. Instrumen lain pengolah nilai nilai yang dimiliki manusia. Logika terkadang menjadi musuh bagi hati. Mengunci mulut hati untuk bicara kebih banyak. Memaksa telinga kita untuk menutup pendengarannya terhadap apa yang ingin hati katakan.
Manusia yang penuh logika menyebut lainnya yang lebih mendengarkan suara hatinya sebagai yang Naif. Naif yang berujung kebodohan, katanya. Tapi mereka yang lebih banyak menggunakan hati dengan kesadarannya yang penuh, menurut saya, akan lebih berbahagia. Hahaha…
Entahlah siapa yang lebih berhak menghakimi jika sudah begini. Masing masing matang dengan caranya sendiri. Ada yang matang dalam berlogika. Ada juga yang matang dalam merasa. Ada yang Yakin berlebihan dengan apa yang dikatakan hatinya. Ada juga yang hanya yakin dengan logika yang dipakainya.
Menurut saya. Keduanya bebas memilih. Menggunakan logika atau hati lebih banyak. Toh setiap orang punya kondisi dan keadaan yang berbeda-beda. Rumput pun akan memiliki karakter yang berbeda jika tumbuh di tanah yang berbeda pula. Walau berasal dari satu jenis yang sama. Dan mereka pun akan terus tumbuh. Dengan caranya masing masing.
Mari kita misalkan seperti ini. Saya berada di suatu tempat yang sunyi, basah, dan lembap. Apa yang bisa saya dapatkan? Kebahagiaan? Untuk yang memakai logikanya, pastilah bertanya tanya. Untuk apa saya berada di sana. Tempat yang tidak sekalipun menawarkan sesuatu apapun. Kecuali kesepian dan ketidaknyamanan. Itu untuk orang itu. Tapi mari bicara hati. Jika hati saya merasa nyaman di sana, merasa bahagia di sana. Lalu apa yang bisa mereka katakan? Nggak ada, kan?
Manusia. Dalam kehidupan mayoritasnya, akan lebih banyak menggunakan logika. Tapi, dalam kehidupan pribadinya, entah berhubungan dengan apapun itu, saya masih yakin, hatinya berbicara lebih, dan ia mau dengan suka rela mendengarkannya.
Pasti ada waktu ketika manusia ingin menyendiri dengan dirinya sendiri, juga lebih banyak mendengarkan kata hatinya. Karena sejatinya manusia tak akan percaya pada apapun kecuali apapun yang sesuai dengan kata hatinya. Berani bertaruh? Kecuali hatinya sudah mati. Tapi hati tak pernah mati. Sekalipun lirih, kita masih bisa mendengarnya bicara, mendengar degup kehidupannya.
Hati tanpa logika, logika tanpa hati, keduanya berbahaya. Tapi tak salah. Karena setiap manusia pada dasarnya hanya melakukan yang ia percaya. Logika bisa meracuni hati, begitu pun sebaliknya.
Harus ada batas yang jelas antara keduanya. Maksud saya adalah waktu ketika menggunakan keduanya. Tapi lebih baik lagi kita menggunakannya secara bersamaan. Agar seimbang. Agar logika kita tetap terjaga. Agar perasaan pun tak jauh melampaui batasnya.
Tenang saja. Manusia sudah begitu pintar untuk mesiasati segala kondisi. Terbukti dari masih hidupnya kita saat ini. Bayangkan saja apa yang sudah terjadi selama ini, dan kita masih saja hidup kan?
Ingat. Rasa nyaman, bahagia, sedih, dan segala yang abstrak, datang dari mana jika bukan dari hati? Logikamu tak penting lagi. Dengarkanlah hatimu sesekali.
Logika hanya untuk mencari uang. Gunakanlah hati untuk mencari yang kau butuhkan.
Dan aku. Menggunakan hatiku untuk mencarimu. Laaahhh…. hahahaha….
Ah. Kopi saya habis lagi. Rokok pun begitu. Sudah ya. Jangan tersesat akibat membaca tulisan saya. Daaaahh! (*)
No comments:
Post a Comment