Harga Rokok Naik

Oleh Tria Putra Kurnia


Selamat pagi. Ini kabar buruk. Bagi siapapun yang menganggap ini kabar buruk. Saya sih biasa saja. Cuma sedikit kaget kan wajar.
     Jadi begini ceritanya. Stok rokok dan kopi saya habis. Sementara pekerjaan masih menumpuk. Mencari jurnal utama dan pendukung. Untuk bahan pengajuan proposal skripsi. Iya. Skripsi. Sampailah saya di semester 8 ini. mata kuliah udah abis diambil. Tinggal KKM dan skripsi. Selesai kapan? Entahlah. Tapi semoga dalam tahun ini udah beres. Amin.
     Oke. Balik lagi ke kabar buruk. Karena rokok dan kopi saya habis, terpaksalah saya bongkar cadangan uang yang masih ada. Lima ribu rupiah. Empat tembakau matahari dan satu sachet kopi kapal terbakar biasanya bisa ditukar dengan uang lima ribu. Sayang banget sih sama uang lima ribu. Tapi apa mau dikata. Untuk kepentingan sendiri juga. Sebenernya saya kemarin masih punya uang lima puluh ribu. Tapi karena keperluan menggambar juga udah abis terpaksa uang itu dikonversi menjadi satu buku sketsa, satu kuas, satu pensil, penghapus, juga tinta bak (china). Habis juga kan ternyata. Uang memang digunakan untuk belanja. Kalau ada lebih ya disimpan. Untuk belanja lagi. Sama saja.
     Uang udah di dalam kantong. Tangan belepotan tinta. Ada tulisan SKA di pergelangan tangan saya. Tattoo pake tinta china. Biar bisa dihapus. Hahahaha.
Ke warung naik sepeda ibu. Sepeda yang ada keranjangnya di depan. Sambil siul-siul. Tapi siulannya nggak kedengeran. Soalnya sepedanya berisik. Entah suara dari mana. Mungkin dari roda yang nggak kuat ngangkat beban saya. Biarlah. Nggak ada yang protes ini.
Warungnya nggak jauh. Sekitar seratus meter dari rumah. Jadi cepat sampai. Kecuali saya mampir ke tetangga sebelah rumah dan ngobrol lama. Bisa jadi saya lama sampai ke warung.
“beli….. beli….” itu kata yang biasa saya pakai dari kecil hingga sekarang kalau mau beli sesuatu di warung. “beli….. beli….”
“beli rokok. Surya. 4 batang”
“suryanya habis, ada juga super”
“wah yaudah nggak apa-apa”
Ada kopi. Saya ambil saja satu. Biar pas lima ribu.
“jadi berapa?”
“enam ribu”
Lho?! Kok jadi enam ribu ya? Saya bingung. Ternyata rokok super harganya naik. Jadi duaribulimaratus untuk dua batang. Masalah!
Kenapa jadi masalah? Karena saya Cuma bawa uang lima ribu.
“wah. Uangnya kurang seribu. Sebentar saya pulang dulu, ya.”
“iya gapapa”
    Untunglah warungnya nggak jauh dari rumah. Jadi saya bisa balik lagi dan ambil uang seribu. Coba kalau warungnya di ciruas sana. Masa saya harus pulang ke kaujon terus ambil uang seribu?
Sambil saya pulang saya mikir. Ini nggak bisa dibiarin. Tapi apalah daya saya sebagai konsumen? Mau demo? “tubunkan harga rokok” gitu? Ya gak mungkin lah.
   Ah… dengan kenaikan harga rokok ini bisa jadi semua aspek ikut-ikutan naik harganya. Memang begitu kan negara ini? atau memang begitu sebenarnya konsepnya? Satu harga naik, semua yang berkaitan dengan barang itu ikutan naik juga? Kayaknya sih gitu.
    Bayangkan. Untuk yang penghobi naik gunung. Seperti saya. Perokok juga. Setiap naik gunung untuk durasi 2 hari satu malam, bisa menghabiskan 2 bungkus rokok misalnya. Pastilah biaya konsumsi rokok yang naik bakal berpengaruh terhadap biaya naik gunung secara keseluruhan. Belum lagi hal lain yang dipengaruhi. Ongkos transportasi, misalnya. Karena si supir perokok, dan harga rokok naik, pastilah ongkos ikutan naik. Wah… jadi masalah ini judulnya. Biaya yang lain belum lagi bakal ikutan naik.
Semua hal berkaitan. Untuk yang ketergantungan.
    Sebenarnya ini bisa jadi nggak masalah. Untuk yang tidak merokok. Rokok naik harganya, mereka tenang-tenang saja. Nggak dipengaruhi. Tapi coba misalnya gini, orang yang tidak merokok pasti butuh transportasi, bahan makanan, dan lainnya. Bagaimana jika pemilik transportasi, penjual makanan, itu semua merokok. Ya sama saja, jadi masalah kan? Waduh. Rokok naik menghasilkan masalah baru. Hapuskan saja rokok, gimana? Hmmm…. nanti deh ya.
    Inilah buah ketergantungan beberapa pihak terhadap rokok, belum hal lainnya. Misalnya ketergantungan kita terhadap bahan bakar minyak. Minyak naik semua naik. Semua hal sepertinya begitu. Jika kita mulai ketergantungan terhadap satu hal. Kita dijadikan budak dari “subjek” tersebut. “subjek” tersebut bebas naik dan turun. Kita yang menyesuaikan dengan kenaikan dan keturunannya. Bahaya.
    Ah! Berbahagialah untuk yang independen, dan tidak bergantung pada apapun, kecuali Tuhan. Karena Tuhan tak pernah menentukan biaya untuk bergantung kepadanya. Maha Suci Allah.
Sebenarnya ini semua hanya dari ketergantungan hal fisik. Banyak ketergantungan lainnya yang memaksa kita menjadi budak jika kita tidak sadar.
     Cinta dan kekasih. Hahahaha. Kedua hal itu bisa saja menjadikan kita budak. Jika kita tidak sadar. Tapi kita bahagia bahkan jika kita menjadi seolah-olah budak di hadapannya. Kita bahagia. Bahagia kenapa? karena memang kita yang menginginkannya. Karena kita yang memilih bertekuk lutut di hadapannya. Bayangkan seseorang yang menempuh perjalanan jauh hanya untuk sekadar menyapa orang yang dicintai dan disayanginya. Jika berpikir logika, itu bisa jadi hal yang sedikit sia-sia. Tapi dilihat dari sisi psikis dan keinginan seseorang itu, itu adalah yang diinginkannya, dan dia bahagia (curhat) walaupun apa yang ditemuinya belum tentu sesuai dengan yang diharapkannya.
   Ah! Saya pernah bilang begini, entah original atau tidak, biarlah. “hidup hanya tentang kita yang mencari simpul yang nyaman untuk terikat dan bergantung” biarlah kita terikat dan tergantung, sejauh kita merasa nyaman terikat dan tergantung di sana. Begitu bukan?
     Saat ini pun kenaikan harga rokok yang tadi saya permasalahkan sudah nggak ada lagi di dalam pikiran saya. Tapi secara cepat atau lambat, itu akan berpengaruh terhadap kebiasaan saya merokok. Kurang lebihnya begitu. Udah, ya. Saya mau lanjut kerja. Cari jurnal, denger musik, baca buku, dan bahagia.
Ini kopi dan rokok. Kalau kamu mau ambil saja. (*)

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment