Oleh Tria Putra Kurnia
Di pojok kiri bawah layar laptop saya menunjukkan bahwa ini pukul 05:44.
Banyak orang menyebut waktu ini sebagai pagi. Okelah kalau begitu.
Sepertinya saya kali ini setuju dengan orang-orang yang menyebut
waktu ini sebagai pagi.
Sekitar satu jam sebelum ini, berarti pukul 4:46. Adalah waktu yang
saya sebut sebagai waktu yang bijak. Waktu di mana semua terasa berjalan
lambat; Ketika matahari belum sempurna menampakkan wajahnya, jalanan masih sepi dari kendaraan, udara masih beraroma embun, dan segalanya terasa mengalir secara sederhana.
Jujur saja, saya rindu suasana seperti ini. Setelah beberapa hari
belakangan hanya mendung dan hujan yang selalu disajikan alam.
Sayangnya, pagi ini tak ada kopi pun tembakau. Terasa ada yang ganjil.
Ada ruang kosong yang seharusnya dilengkapi oleh tembakau dan kopi.
Atau pasangan lainnya yaitu tembakau dan teh leci. Tapi teh leci cuma
bisa didapatkan jika waktu sudah mulai menjelang malam. Dibeli di warung
@alialtiar.
Waktu adalah pisau bagi yang tak siap. Juga bagi yang tak pandai
mensiasatinya. Waktu bisa mendewasakan. Juga membuat segalanya menjadi
indah. Itu pun bagi yang menginginkan seperti itu. Maka, apa ruginya
bahagia dalam setiap waktu?
Oh iya, kali ini saya mendengarkan lagu-lagu dari Pure Saturday yang
terangkum dalam albumnya yang berjudul Grey. Saya suka dengan beberapa
lagunya. Terutama Dream a New Dream. Cocok dimainkan di waktu pagi
seperti ini. Dimainkan pada waktu-waktu yang bijak.
Sekitar 2 jam dari sekarang, saya mungkin sudah tidak lagi ada di
kamar. Mungkin saya akan duduk di kantin belakang kampus, bertemu
beberapa teman, dan bicara apa saja. Menyenangkan, bukan? Ya. Semoga saja.
Selalu saya bilang, seperti yang saya dapat dari seorang penulis yang
saya sukai, bahwa bahagia bukan dicari, tapi kita yang buat.
Lalu, marilah berdoa untuk kebahagiaan kita.……………. Amin.
Eits! Nanti dulu, ini belum selesai. Hahaha.
Sekarang, di depan saya, ada kopi seribuan yang katanya beraroma
vanilla, juga tembakau dengan merek yang biasa saya nikmati. Tapi
sayang, aroma vanillanya raib entah dibawa oleh siapa. Hanya samar-samar
bisa tercium. Itu juga hanya sedikit.
Tapi, ya sudahlah. Toh, saya masih bisa menikmati pagi ini dengan
bahagia, bukan? Satu batang tembakau, satu gelas kopi. Nikmat sekali.
Kamu mau? Kemari saja. Bawa sekeping bahagia, jangan lupa. :-)
No comments:
Post a Comment