Tafsir-tafsir Baru

 
Traffic Monster by Saccstry


Oleh Na Lesmana

Kejadiannya kerap berlangsung seperti ini: puluhan pengemudi mobil dan motor menghentikan kendaraannya saat lampu merah menyala, menunggu, dan membunyikan klakson saat lampu hijau menyala—bukan segera menjalankan lagi kendaraannya atau sekadar menunggu ‘yang di depan’. Maka, kita mendapati suasana riuh selama beberapa detik, sebelum melanjutkan perjalanan yang mungkin telah tak senyaman permulaannya.
            Kejadian yang cukup serupa kerap berlangsung seperti ini: pengendara motor memakai pelindung kepala untuk menyelamatkan diri dari ‘sergapan’ polisi, bukan benar-benar untuk menjaga kepalanya, atau menaati peraturan lalu lintas. Maka, kita pun kerap dihadapkan pada pertanyaan “emang ada polisi di sana?” ketika mengharapkan pengendara motor lain untuk memakai pelindung kepala, seolah jalan raya tak pernah menyimpan potensi kecelakaan dan cuma menyimpan polisi dengan surat tilangnya.
            Begitulah, selain menjadi persoalan pada konteksnya—lalu lintas—, kedua kejadian itu juga menjadi persoalan pada konteks penafsiran tanda dewasa ini. Perhatikanlah bagaimana lampu hijau yang menyala tak lagi ditafsirkan sebagai ‘silakan jalan’, tetapi ‘bunyikan klakson!’. Perhatikan juga pelindung kepala yang tak lagi bergerak di pikiran beberapa pengendara motor sebagai benda yang mampu melindungi kepala dari benturan, tetapi lebih sebagai benda yang menolak tilangan. Sehingga, keselamatan berkendara tak lagi menjadi hasil penting dari proses interpretasi tanda berupa pelindung kepala.
            Mungkin ada kejadian lain yang serupa dengan keduanya, yang pernah anda dapati. Tetapi, tulisan ini berusaha mengajukan jawaban ihwal penyebab bergesernya tafsir dari kedua tanda yang sudah dibicarakan, meski tanpa maksud menjadikan itu sebagai gejala kolektif keseluruhan tanda yang ada pada kehidupan ini. Kiranya, karena penafsiran tanda berkait erat dengan lingkungan tempat tanda itu ada, menjadi menarik ketika kita bertolak dari gejala sosial yang mempengaruhi gelagat berkendara orang-orang kita—untuk menyebut masyarakat Serang, Tangerang, dan sekitarnya sebagai masyarakat desa-kota.

Hidup yang Memburu dan Surat Tilang
            Dewasa ini, ketika materi menempati posisi terpenting di hati kebanyakan orang, satu hari seolah tidak dibangun dari dua puluh empat jam. Kegiatan semacam sarapan, berangkat kerja, bekerja, makan siang, belanja, makan malam, tidur, dan lain-lain tak lagi menjadi tujuan bermakna dari kehendak manusia, melainkan rutinitas yang telah baku dan setiap agenda diburu oleh agenda yang lain. Tak berasa. Kita terjebak di dalam rutinitas itu sebagai objek materil, sebagai benda.
            Maka, kita menjadi lebih bergantung pada benda-benda lain semacam uang, kendaraan, gadget, dan piranti lain dalam rangka mempertahankan diri. Masing-masing kita bekerja untuk membentuk persekutuan benda, yang sayangnya setiap persekutuan benda kita kerap bergesekkan dan ingin lebih maju tinimbang yang lain: Budi, mobil, ponsel, dompet dan isi dompet Budi, kerap ingin mengalahkan Santi, motor, ponsel, dompet dan isi dompet Santi—baik secara kuantitas, kualitas, maupun gengsi. Santi pun bekerja lebih giat, termasuk tak menyediakan waktu untuk bersabar di jalan raya.
            Dorongan untuk menang dari yang lain membawa kita pada sikap apatis, tak peduli peraturan yang berpotensi menghambat kepentingan kita, atau dengan kalimat lain: mengabaikan keselamatan kita sendiri, baik dari segi esensi (bernilai, bertuhan, dan bersosial) maupun dari segi struktur (bernyawa dan bertubuh). Kita tak lagi sesuai dengan homo homini lupus karena telah juga menjadi serigala untuk diri kita sendiri. Kita abaikan diri kita sebagai mahluk sosial dengan memburu-buru orang lain di jalan raya dengan klakson, yang notabene bisa mengintimidasi dan membahayakan. Kita abaikan diri kita sendiri sebagai makhluk yang dibidik kematian dengan tak memakai pelindung kepala atau sabuk pengaman, serta berkendara dengan baik.
            Ihwal surat tilang adalah perbenturan yang lain lagi: ia mempertemukan kepentingan hukum, pengendara, dan polisi. Surat tilang sebagai tanda mempunyai kekuatan untuk membawa seorang pengendara pelanggar peraturan ke pengadilan atau membawa uangnya ke kantong oknum polisi. Supremasi hukum berada di antara kesadaran pengendara dan ketaatan para polisi. Menilik hal-hal yang sudah dibicarakan, onum polisi bisa menjadi serupa dengan para pengendara yang apatis, ia terjebak pula dalam ketergantungan terhadap benda-benda yang hanya bisa dimiliki dengan uang. Karena itu, oknum polisi itu bisa saja mengabaikan alur persidangan untuk pelanggar peraturan dengan kata ‘damai’ yang juga telah bergeser tafsirnya.

Pilihan-pilihan
            Akhirnya, pikiran para pengendara dibentuk oleh keadaan semacam itu hingga memunculkan tafsir baru terhadap tanda-tanda yang telah dibicarakan. Tafsir atas lampu hijau yang menyala adalah “bunyikan klakson!”. Ia berasal dari ketergesaan para pengendara, ketegangan yang dibentuk jadwal kerja dan semacamnya, juga sikap egois dan tak sabar untuk memenangi pertarungan pemenuhan kebutuhan dan gengsi. Begitu pun ihwal pelindung kepala yang ditafsirkan sebagai penolak surat tilang. Tafsir itu berasal dari hilangnya kepedulian terhadap diri sendiri, juga dominannya unsur hukuman dan penyelewengan kewajiban yang dilakukan oknum polisi, sehingga tafsir awal atas pelindung kepala menjadi kabur. Lingkungan membentuk interpretasi kita.
            Ada dua pilihan yang tersedia: kita membiarkan gejala-gejala itu atau dengan kata lain terlibat dalam konvensi baru mengenai tafsir tanda-tanda itu, atau menahan diri dari dorongan-dorongan kontraproduktif semacam yang telah disebutkan. Pilihan pertama tentu akan memperpanjang masa-masa kering kehidupan sosial kita secara kolektif: semua berjalan sendiri-sendiri dengan kemauan masing-masing, sambil menghadapi gesekkan-gesekkan. Pilihan kedua akan membangun lagi ketentraman kita sebuah masyarakat, sambil menikmati pemahaman yang baik terhadap tanda-tanda sebagai hasilnya, serta secara tidak langsung membangun martabat sebagai subjek.
            Tetapi, ihwal pergeseran tafsir dari tanda berupa lampu hijau yang menyala atau pelindung kepala adalah persoalan-persoalan sederhana dan relatif. Bahkan terkesan remeh, meski dikaitkan dengan keadaan aktual lingkungan kita sekarang ini. Masih ada persoalan lain terkait tanda dan tafsirnya, serta mungkin lebih rumit dan penting. Misal, tanda berupa foto-foto pejabat yang tersebar di jalan-jalan (icon), apakah merujuk pada seseorang yang layak dan patut menjadi pemimpin, seorang negarawan yang amanah, atau justru tidak merujuk pada apa pun karena para pejabat memang tak ada—cuma mitos yang dibangun poster-poster?[*]
Na Lesmana lahir di Tangerang, 7 Juli 1992. Mahasiswa Diksatrasia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten. Bergiat di Kubah Budaya dan UKMF Belistra.

(Sumber: Radar Banten Edisi 9 November 2013)

Unknown

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment