
Oleh Uthera Kalimaya
Perjalanan
Pergi
Musim hujan
datang, dan keharusan untuk pulang menjadi suatu ke-hulap-an (baca:
kemalasan). Barangkali itu yang mendorong rasa malas saya untuk mencium bau
rumah, dan merasakan masakan rumah, lebih besar dari musim kemarau. Bukan
karena saya tidak ingin pulang, tapi perjalanan menuju rumah itulah yang selalu
membuat saya merasa 'hulap' untuk pulang.
Kamu bayangkan saja, bila musim ini datang, saya harus melewati banjir di tiga
titik. Di titik pertama dan kedua, akibat sungai Ciliman meluap, sungai Cipaeh
yang awalnya memang seperti paeh (mati) atau tidak mengalir itu
dilimpahi air got dan ditambah luapan Ciliman, ketiga air sawah yang meruah ke
jalan sementara got tidak bisa menampung air lagi. Belum lagi kondisi jalannya
yang mungkin akan disenangi para pecinta motor cross maupun offroad;
tanah bercampur batu yang mencipta kembang (bekas ban truk pengangkut hasil
bumi, dan ban motor), sangat licin. Jalan alternatifnya tidak lain; masuk ke
halaman rumah orang, kebun, hutan, dan ke mana saja asal motor bisa lewat.
Memang, orang yang biasa menjemput saya sangat lihai memilih jalan. Dia adalah
orang yang selama ini saya percaya tidak akan membuat saya jatuh dari motor.
Tapi untuk bulan penghujan ini, rasa malas pulang itu bercampur dengan acara
yang sebentar lagi akan kami selenggarakan; Ziarah Keabadian ketiga guru saya.
Perhitungan saya, bila pulang hanya untuk merasakan masakan rumah barang semalam,
sementara kondisi perjalanan macam itu, tubuh ini apa kabar nantinya?
Sebetulnya, saya tidak tega juga meminta bertemu bapak di luar rumah. Tapi
bapak mengatakan ada keperluan ke Pasar sebab cucu tersayangnya datang.
Jadilah, kemarin, Sabtu (16/11) saya janjian bertemu bapak di Pasar Panimbang.
Saya menyebut ini sebagai wujud dari; 'saya baik-baik saja, lho'. Karena itu,
walaupun belum mandi saya pun memutuskan pergi ke terminal dan naik bus jurusan
Labuan.
Di dalam bus berwarna merah itu, ternyata sudah banyak yang
berdiri. Padahal, kondektur berteriak 'kosong' pada setiap orang. Saya pikir,
kondektur bus ini sedang mengamalkan perkataan Budha; kosong adalah isi, isi
adalah kosong. Jika bukan karena itu, maka pengertian kosong dalam
KBBI harus ditambahi. Bukan hanya; 1) tidak berisi'; 2) 'tidak
berpenghuni'; 3) hampa; berongga; 4) tidak mengandung arti; 5) tidak bergairah;
6) tidak ada yang menjabat; terluang; 7) tidak ada sesuatu yang berharga
(penting); 8) tidak ada muatannya; 9) ki tidak pandai; tidak cerdas; 10)
cak nol. Tapi kosong pun sama dengan masih ada tempat untuk berdiri,
meskipun saling berhimpitan.
Mengenai 'kekosongan' ini, saya rasa tidak akan menjadi masalah
bila kondektur memilah siapa yang harus berdiri di dalam bus. Orang muda macam
saya tidak apa-apa. Tapi, nenek, kakek, ibu hamil, ibu yang menggendong anak
kecil, rasanya sudah kelewatan bila harus ikut berdiri juga. Jangan salahkan
mereka yang akhirnya naik bus 'penuh' macam ini, mungkin mereka pun tertipu
dengan kata 'kosong' yang dikoarkan kondektur. Bila sudah begini, seseorang
yang sudah duduk harus memiliki kesadaran untuk memberikan tempat duduknya pada
mereka. Tapi, saya tidak melihat hal ini. Saya jadi berpikir; jangan-jangan,
budaya 'silakan duduk, nek, kek, bu (ibu hamil/bawa anak kecil), sudah tidak
ada lagi?' Di saat seperti itu, saya hanya bisa menyilakan tempat berdiri
'nyaman' saya pada seorang nenek. Meskipun sudah berusaha menyilakannya duduk,
saat seorang bapak di kursi depan saya berdiri, tapi kemudian direbut seorang
pemuda. Akh! Kamu tampan, sih. Tapi impoten soal ini.
Hingga
akhirnya, satu persatu turun dari bus. Dan hampir semua orang yang semula
berdiri mengisi kekosongan tempat duduk itu. Termasuk saya, tentu saja. Saya
menggunakannya untuk tidur. Lumayan, meskipun sebenarnya, bus sebentar
lagi sampai di terminal. Hanya saja, kantuk sudah mengajak saya terlelap.
Saya sadar ketika seseorang menepuk bahu, dan langsung mendapati wajah-wajah
pencari penumpang; tukang ojek, calo angkot. Saya gelengkan kepala untuk
menjawab mereka, sekaligus mengenyahkan kantuk. Tidur sebentar rupanya membuat
mata kanan saya terasa perih dan berair. Linglung bangun tidur, mata perih, dan
pertanyaan-pertanyaan 'hendak ke mana' yang sangat memaksa itu bikin emosi saya
sedikit naik.
Hingga kaki saya menjejak tanah, pertanyaan itu terus saja ditanyakan seorang
pemuda tukang ojek yang semula mengira saya lelaki. Mungkin ia melihat saya
tidur dengan menutup wajah dengan kupluk sweater yang kebesaran itu.
Dari pertama ia menawari, saya sudah menolaknya dengan halus (gelengan kepala,
dan ucapan 'tidak'). Tapi, ia tetap berisik. Dan akhirnya; "Kyaa!
Gandeng dia anying! Ja ku aing geus dijawab 'moal', teu ngadenge dia?!
Koplok," (Berisik! Sudah saya jawab 'tidak mau', kau tidak dengar?
Brengsek!). Ucapan saya itu langsung dijawab; "Beuh! galak amat,
neng..." dari orang-orang yang seprofesi dengan pemuda yang kena
bentak saya. Sebenarnya, saya pun kaget dengan ucapan saya itu. Kok saya
bisa seemosi itu? Bwehehe. Tapi, mungkin itu pelajaran juga untuk
mereka. Harus tahu psikologis orang-orang yang mereka tawari jasa. Baru bangun
tidur dan diberisiki dengan pertanyaan yang sama itu sangat menyebalkan.
Dari terminal Tarogong, saya mampir dulu di warung makan untuk mengisi tenaga
yang tadi sedikit terkuras oleh emosi. Warung Padang di dekat pertigaan itu
jadi pilihan saya. Di dalamnya sudah ada beberapa orang yang menjajah meja. Ada
yang sendiri, ada yang berdua. Salah satu yang menarik perhatian saya (karena
cukup berisik), adalah meja kedua dari pintu. Di sana ada seorang perempuan
dengan kerudung tersampir di kepala, dan seorang lelaki berjaket hitam yang
sedang makan. Perempuan itu sibuk membincangkan masalah pemerintahan.
Barangkali ia bekerja di pemerintahan, atau minimal, ia dekat dengan orang
pemerintahan. Karena itu, ia semangat membincangkan masalah yang ada di
dalamnya. Sementara lawan bicaranya mendengarkan, atau mungkin memilih
menikmati ikan bakar di piringnya itu. Saya tidak ingin menguping, karena itu,
saya tutup telinga dengan earphone. Suara Natasha Bedingfield tentu saja lebih
merdu dari suara gusar perempuan itu; my skin is like a map of where my
heart has been and I cant hide the marks its not a negative thing so I let down
my guard drop my defences down by my clothes i'm learning to fall with no
safety net to cushion the blow.
Sedang asyik mendengarkan lagu sembari menunggu ikan bakar pesanan saya datang,
bapak menghubungi. Seperti biasa, ia menanyakan 'sudah sampai mana', saya jawab
Tarogong, dan menanya balik. Rupanya bapak ingin memastikan saya sudah sampai
Panimbang atau belum, sebab ia sendiri masih di rumah. Sementara jarak dari
rumah saya ke Panimbang membutuhkan waktu minimal satu jam. Itu pun sudah
termasuk dengan kondisi jalan seperti yang sudah saya ceritakan itu. Bila sudah
diperbaiki atau musim kemarau, waktu tempuh biasanya hanya 30 menit. Atau malah
20 menit, sebab saat melihat jalan 'bagus', orang-orang sana sangat bernafsu
untuk menginjak gas. Heuheu
Selesai
makan, ritual mengisi paru-paru, dan membayar makanan, saya pun melanjutkan
perjalanan. Saya sengaja berjalan cukup jauh, dari pemberhentian angkot yang
akan membawa saya ke Panimbang. Sebab, bila langsung masuk angkot, sama saja
dengan satu jam berada dalam oven. Hanya saja, saya ternyata tertipu juga. Saya
kira angkot yang mendekati saya itu langsung jalan, tapi ternyata mundur lagi. Hih!
Hingga akhirnya memaksa saya turun lagi, dan menghampiri warung kopi untuk
mencomot pisang goreng. Satu pisang goreng saya lahap, angkot mengajak jalan. Sialan.
Sesampainya di Panimbang, saya langsung menghampiri tempat bapak. Di sana, ada
mamang saya yang rupanya mengantar bapak. Sedangkan bapak sedang mencari
sesuatu untuk menantu dan cucunya. Tidak lama kemudian, bapak datang dengan
sekantung mentimun. Nggak berkualitas memang jajanan bapak ini. Tapi dari
rautnya terlihat senang saya datang. Tidak banyak yang kami bicarakan, selain
kabar bahwa cucu dan menantunya datang, dan petuah untuk terus belajar agar
bisa mengajar. Pertemuan ini pun tidak lama, sebab cuaca yang tidak bisa
diperkirakan ini bisa menghambat kepulangan bapak, dan kepulangan saya juga.
Bapak menyuruh saya segera berangkat; 'hati-hati di jalan, bulan depan harus
pulang,' adalah kalimat yang saya dengar sebelum saya membalikkan badan.
Saya membalasnya; 'Bapak juga hati-hati. Jaga kesehatan, dan salam buat
mamah.'
Dalam hati,
saya berdoa; semoga jalan pulang bulan depan sudah semulus muka ibu gubernur atau
paha JKT48-lah. Kata bapak, sih, jalan pulang sudah diperbaiki. Tapi..., cuma
sepotong. Itu pun bapak sudah mengajak saya mengucap syukur berulang kali. Dan
barangkali akan lebih bersyukur lagi bila perbaikan jalan sampai ke depan
rumah, sudut-sudut kampung, hingga jalan ke desa ini bisa ditempuh dari keempat
arah; Patia, Perdana, Picung, dan Munjul. Amin, dong, ya. ^,^
*
Perjalanan
Pulang
Sebelum
menyetop angkot menuju terminal, saya putuskan untuk jalan kaki dahulu.
Jembatan Panimbang yang kokoh saya jejaki; kapal-kapal nelayan, laut yang
melambai di ujung muara, anak-anak sekolah yang baru pulang, penjaga bengkel
dekat jembatan yang bersiul, saya lewati dengan sepercik senyum dan anggukkan
kepala. Udara berdebu, keringat mulai mencucur. Matahari memang tidak
menampakkan diri, tapi panasnya terhantar sempurna. Tenggorokan saya kering,
dan saat itulah rasanya saya butuh sekali mandi. Minimal mandi kepala alias
keramas. Mencari salon kecantikan adalah hal pertama yang muncul di kepala.
Saya akan merelakan kepala saya 'diemek-emek' lelaki lembut, asal saya
merasa segar. Tapi, ternyata mata saya tidak menemukannya. Jadinya saya mampir
ke warung yang diapit butik, dan toko parfum yang berplang 'tutup'.
Srikandi nama tempat itu. Tempatnya kecil, dan sedikit berdebu. Hanya ada tiga
meja kayu di tempat ini. Kursi rusak dan galon kosong berada di sudut dekat
westafel, di atas kepala ada kipas angin besar dan berdebu, replika kapal
ditempatkan di etalase dekat dapur atau di belakang meja kasir, ada plang
bertuliskan menu mengelilingi seperempat pinggir ruangan itu, ada surat
peringatan dari pihak pemerintah yang ditempel di jalan masuk dari sebelah
dalam, dan tulisan besar "dilarang membawa minuman di atas 5%"
terpampang di kaca tangga, atau di atas dua replika patung Budha. Sementara di
setiap meja, ada vas berbunga plastik dengan banyak debu yang menempel, dan
asbak. Tiga colokan menggantung pasrah di samping kiri meja yang saya jajah.
Tapi terus terang saya tidak sedang bergairah membuka laptop.
Pada pemuda berkaos kuning dan berwajah oriental yang mendekat, saya meminta
kopi dan air mineral dingin. Sementara pemuda berkaos hitam, dan saya pikir dia
'lembut', langsung menuju dapur. Setelah air mineral dibawakan dalam gelas
merek bir, langsung saja saya tegak. Saya rasa dari gelasnya, ia seperti
menawari saya untuk mencicip bir. Tapi, cuaca sedang tidak bagus untuk ngebir.
Selesai meneguk habis air mineral, keringat bebas mengucur dari dahi, tangan,
dan mencipta pola di basah di kaos putih saya. "Tempat ini asyik,"
pikir saya. Saya ingat-ingat kembali bentuk tempat ini beberapa waktu lalu,
sebelum ada dua toko di depan itu. Sedang asyik mengingat-ingat, seorang gadis
berwajah 'tebal' (bedaknya) datang. Ia bicara dengan pemuda berkaos hitam.
Entah apa yang mereka bicarakan, tapi mereka langsung menuju lantai dua. Sementara
di telinga saya, My Chemical Romance menjerit; Welcome to the Black Parade.
Setelah keringat kering, saya pun melanjutkan perjalanan. Angkot
kembali saya pilih, meskipun ada angkutan yang langsung menuju Serang.
Sesampainya di terminal, seperti biasa saya mampir di warung Emak. Di sana
banyak supir bus, kernet, dan kondektur yang sedang makan sembari berbincang
seru perihal kemacetan di Tol Jakarta-Merak.
"Kecelakaan," kata Mamang bertubuh gempal dan memakai kaos berwana
merah.
"Iya, ikh, menyeramkan. Mobil segitu gedenya sampe ringsek, dan
orang-orang yang evakuasi sampe ngambilin daging dengan sumpit," timpal
mamang yang telanjang dengan kaos tersampir di bahu, ia seolah tidak sadar
bahwa tangannya sedang sibuk mencomot nasi seperti yang dilakukan lawan
bicaranya.
Sedang asyik mendengarkan celotehan mereka, seorang nenek memanggil saya dan
meminta rokok. Emak bilang, nenek itu orang gila. Tapi, dari caranya meminta
saya putuskan untuk menyebutnya 'kurang bisa mengontrol emosi'. Nenek itu
mengambil dua batang rokok. Satu batang ia simpan di sela telinga, satu lagi ia
sulut. Ia kembali duduk di depan warung Emak, dan mulai berkoar tak jelas lagi.
Hampir 10 menit saya duduk di warung itu. Akhirnya, bus merah keluar dari
terminal yang tampaknya sedang diperbaiki bagian atapnya. Saya tahu, bus ini
akan membawa 'lari' saya lagi seperti saat perjalanan pergi. Tapi, karena ingin
buru-buru sampai di kostan, saya memilihnya lagi. 70-80 KM/jam ditempuh dari
terminal hingga ke Menes. Pasrah. Cuma itu saja yang saya lakukan dan rasakan.
Memasrahkan nasib pada yang Maha, dan kehati-hatian mengendara pada supir bus,
yang sepertinya pernah memiliki cita-cita menjadi pembalap itu.
Perjalanan mulai terhambat ketika memasuki Saketi, sistem buka
tutup akibat perbaikan jalan yang tak kunjung selesai itu membuat antrian
hingga ke Sodong. Sebenarnya, bus ini pun sudah terhambat di Sodong, tapi
karena kegesitan kernet yang mencari celah, akhirnya sampai juga kami di
Saketi. Tugas kernet bertambah lagi di sini. Supir kemudian membanting stir ke
arah kanan. Sementara di depan, bus lain yang berwarna biru (Asli), tampak ikut
mengantri. Balapan, dimulai dari tempat ini; balap keluar dari antrian
macet, sekaligus balap mencari penumpang. Jika sudah begini, saya mulai
mendengar jerit penumpang, termasuk saya, yang merasa seram, dan melihat wajah
bernafsu supir bus. Siapa pun yang mengganggu jalan, akan terkena dampratan
supir. Makian supir, teriakan kernet depan yang menjadi navigator, menjadi
bumbu balapan.
Pengamen hampir luput dari pengamatan saya. Hanya ketika bus sampai di
Pandeglang (Pabrik), saat bus lama beristirahat, saya melihat beberapa pemuda
dengan peralatan musik lengkap naik ke bus. Terlepas dari lagu yang mereka
bawakan, saya menyukai mereka. Hal pertama yang saya sukai; peralatan bermusik
yang mereka bawa cukup lengkap; Keyboard (atau apalah itu namanya) yang besar
dan pasti berat, gitar, kentungan (apa namanya, ya?), dan lainnya. Benar-benar
membuat imej mereka 'pengamen serius', ada di kepala saya. Saya rasa, kalau
pengamennya model begini, siapa pun akan dengan senang hati memberikan
persenan.
Ucapan terima kasih, anggukkan kepala, senyum tulus, saat mereka turun dari bus
melalui pintu depan, menjadi akhir perjumpaan saya dengan mereka. Semoga saja
mereka menjadi pemusik yang andal di masa mendatang. Semoga para pengelola
angkutan umum lebih mementingkan 'kenyamanan' penumpang. Semoga kita semua
sukses. [*]
Catatan:
Ongkos Bus
Serang-Labuan (Mahasiswa) Rp. 7000,- | Umum: Rp. 17.000 (?)
Ongkos
angkot Tarogong (terminal)-Pasar Panimbang Rp. 7000
Ikan bakar
di warung Padang Rp. 12.000
Goreng Pisang/potong Rp. 1000
Kopi tubruk di Srikandi Rp. 5000
Goreng Pisang/potong Rp. 1000
Kopi tubruk di Srikandi Rp. 5000
Perjalanan sederhana tapi bisa jadi enak dibaca kaya lagi diceritain langsung. :3
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletenumpang tanya, sungai cipaeh itu lokasinya dimana ya? terima kasih
ReplyDelete